Potensi Leluhur II: Potret Kerelawanan di Buleleng (1)
Upacara adat di Buleleng dalam rangka ngaben massalBerawal di tahun 2002, perekonomian Bali mulai surut. Kemiskinan melanda Bali dengan tingkat penganguran yang terus bertambah. Bangunan-bangunan indah yang tertinggal merupakan wajah sejarah keemasan Bali sebelum terjadinya kasus (ledakan bom) Legian dan Kuta. Semua keadaan menjadi terbalik. Perekonomian Bali tidak beda dengan provinsi lain yang ada di wilayah Timur.
Hingga kini, masyarakat Bali dengan dan pemda berupaya berbenah diri untuk bangkit kembali, dengan lembaran wajah baru meraih kejayaannya. Perubahan mulai terjadi, namun lambat dan hanya di beberapa daerah saja. Krisis akibat bom Bali masih dirasakan masyarakat Kabupaten Buleleng hingga saat ini. Musibah dapat kapan saja menimpa kepada siapa saja, tidak pilih kasih dan tiada satu pun dapat mengelaknya. Meski begitu, yang terpenting bukanlah kenapa musibah itu datang, melainkan bagaimana mempersiapkan diri bila musibah datang.
Jangan pernah melupakan sejarah dan jangan pernah meninggalkan adat budaya. Perubahan zaman atau lingkungan tidak menjadikan perubahan kepribadian yang selalu memegang teguh adat budaya dan kepercayaan yang diyakini. Dari tahun ke tahun, pulau Bali mengalami perubahan yang begitu mendasar dengan datangnya masyarakat dunia di era modernisasi dan globalisasi ini.
Suasana konstruksi jembatan beton Kelurahan Banyuning Utara, Buleleng. Kebersamaan mewujud impian membuka isolasi daerahMereka (wisatawan) membawa perilaku adat kebiasaan mereka ke Bali, yaitu berpesta dan berfoya-foya. Namun, itu semua tidak lantas mengubah perilaku masyarakat Bali, yang terbukti berpegang teguh pada adat budaya dan keyakinan yang dianutnya. Masyarakat Bali tidak terpengaruh perilaku budaya yang dibawa oleh orang-orang asing.
Salah satu buktinya adalah upacara-upacara adat tetap rutin dirayakan di berbagai Pura. Tatanan sosial bermasyarakat yang diatur oleh aturan-aturan adat pun selalu dijunjung tinggi, mendampingi ajaran Hindu, yang merupakan dasar pegangan kehidupan mereka sehari-hari. Artinya, perubahan perkembangan zaman dan transformasi budaya yang terjadi di Pulau Bali tidak mengubah sikap perilaku masyarakat Bali yang selalu menjunjung tinggi adat budaya dan agamanya.
Contoh lainnya, di Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng. Sebagai kota tertua di Bali dan tertua di wilayah kepulauan Sunda kecil, telah menerima pendatang dari berbagai suku dan bangsa sejak puluhan tahun silam. Namun, warganya masih tetap berpegang teguh pada adat budaya, termasuk nilai-nilai yang sesuai dengan konsep kerelawanan.
Suasana Sosialisasi P2KP pada desa. Jinengdalem, BulelengTerbukti, kerelawan di Buleleng tidak pernah luntur hingga kini. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan upacara di Pura, yang diselenggarakan hampir setiap minggu dan setiap bulan. Pura tidak pernah sepi pengunjung saat upacara berlangsung. Peserta pun tetap menggunakan pakaian adat (tradisional), tidak mengikuti cara berpakaian budaya luar.
Di sisi lain, masyarakat Buleleng tetap terbuka kepada semua bangsa yang ingin berkunjung ke Buleleng. Mereka terbuka pada perubahan yang bersifat positif bagi lingkungan Buleleng, sesuai ajaran agama mereka, dan tetap mampu menjauhkan pengaruh negatif yang datang. Masyarakat Buleleng ramah kepada pengunjung, sebagai sambutan selamat datang.
Di lokasi tertentu, boleh saja terjadi pesta pora dan hiburan yang diiringi musik keras dan tawa riang pengunjung, yang mayoritas orang asing dan warga pendatang, tapi masyarakat Buleleng tidak terpengaruh. Bersambung. (Tedjo Mantri S, Askorkot-8, KMW X P2KP-2, PNPM Mandiri Perkotaan; Firstavina)
Senin, 14 Desember 2009
Masyarakar Bali
Masyarakat Bali berada dalam keadaan gawat akibat mendapat banyak pengaruh dari luar Bali baik karena arus globalisasi maupun karena kemajuan teknologi. Perubahan sosial yang sangat mencolok yang terjadi dalam waktu singkat di Bali adalah: (1) Imigrasi dari berbagai bagian Indonesia terutama setelah terjadinya reformasi, menyebabkan pertambahan jumlah penduduk Bali meningkat dalam waktu singkat; (2) Meningkatnya penyalahgunaan alkohol dan obat-obat terlarang yang dibawa oleh pihak luar baik dari dalam negeri maupun luar negeri; (3) Meningkatnya tindak kejahatan, kekerasan dan utamanya pencurian, perampokan, yang dilakukan oleh tenaga profesional yang kebanyakan dilakukan oleh orang luar Bali; (4) Berduyun-duyunnya datang prostitusi dari luar Bali (baik laki maupun perempuan); (5) Pengemis yang terorganisir; (6) Pedofilia dan kekerasan seksual pada anak oleh pendatang dan turis; (7) Dampak negatif terhadap generasi muda dari tayangan sinetron dan film yang berbau sex dan kekerasan; (8) Perbedaan nilai antara orang Bali yang beragama Hindu dengan pendatang yang datang dari agama dan budaya yang berbeda yang berasal dari provinsi lainnya di Indonesia; dan (9) Krisis ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
LAPORAN NEED ASSESMENT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT
DESA ADAT DI BALI[1]
A. PENGANTAR
Sejak jaman Bali Kuna (sekitar abad 9) masyarakat Bali telah mengenal masyakat desa yang disebut “kraman”. Tempat atau wilayah dimana n berada disebut “desa” atau Desa Pakraman (Wanua, tani). Desa pakraman ini pada awalnya merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu. Hal ini termuat dalam teks Bhuwana Tatwa Maharsi Markandheya dinyatakan bahwa ketika Markandheya setelah banyak merambas hutan, Markandeya berkeinginan mmebangun Kahyangan desa. Pada saat yang sama Markandeya mmeberikan pengikutnya bagian tanah, supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut desa. Desa inilah yang mempunyai tugas kewajiban mengurus pura kahyangan desa. (Ginarsa;1979).
Dengan munculnya pengaruh kekuasaan Hindu Jawa pada abad ke 14 mulailah desa di bawah pengaruh raja-raja. Keadaan ini menunjukan bahwa desa berfungsi ganda; sebagai kelompok cikal bakal pemuja leluhur (religius) dan fungsi desa sebagai entitas sosial politik yang terjalin dengan kekuasaan raja (dinasti Majapahit pad abad ke-16). Raffles (1815) menyatakan bahwa seorang raja dibantu oleh seorang “Parbakal” untuk mengawasi desa-desa dan sekaligus sebagai agen dalam perubahan sosial di esa.
Lefrinck (1886-1887) mengatakan desa merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri. Susunan pemerintahan bersifat demokratis dan memiliki otonomi. Ciri khas dari desa pakramandi Bali adalah dimilikinya Kahyangan Tiga.
B. OTENTISITAS DESA ADAT
Dengan demikian desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekyaaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri[2].
Berdasarkan rumusan di atas dapat dikenali unsur-unsur yang merupakan ciri pokok dari sebuah desa adat; yaitu:
1. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali; berarti desa adat diikat oleh adat-istiadat dan ukum adat yang tmbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat ini dikenal dengan nama awig-awig yang menjadi pedoman dasar dari desa adat dalam pemerintahannya.
2. mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hdup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun
3. Dalam ikatan Kahyangan Tiga (kahyangan Desa)
4. Mempunyai wilayah tertentu; yang disebut prabhumian desa atau wewengkon bale agung
5. Mempunyai harta kekayaan sendiri
6. Berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), dalam:
a. mmebuat aturan sendiri (awig-awig) berdasarkan desa mawa cara
b. melaksanakans endiri aturan itu melalui Prajuru
c. mengadili dan menyelesaikan sendiri (oleh lembaga peradilan desa;Kertha Desa) yang memberikan keputusan (niwakang pamutus)
d. melakukan pengamanan sendiri (pakemit, pagebagan dan pecalangan)
Desa Adat merupakan desa otonom (sima swatantra) apabila sudah memenuhi empat unsur yang merupakan syarat (Catur Bhuta Desa), lihat Wardha:1987):
1. Parimandala (lingkungan wilayah desa); Parimandala desa ditata berdasarkan ajaran Tri Mandala yang mengambil perupamaan Tri Loka dalam kualifikasi nista, madya, uttama. Ikatan harmonis antara kahyangan desa dengan pawongan (karaman dan datu) serta palemehan (parimandala) melahirkan konsepsi Tri Hita Karana.
2. Karaman (warga desa);
3. Datu (pengurus, pimpinan desa)
4. Tuah (perlindungan dari Hyang Widhi); Tuah diwujudkan dalam Kahyangan Desa sebagai tampat karaman dan datu memohon berkah dan perlindungan.
Untuk menentukan suatu komunitas hukum sebagai desa pakraman ditentukan oleh adanya Pura/ Kahyangan Desa karena dalam penataan desa pakraman, antara Kahyangan dengan desa pakraman adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Sehingga, salah satu konsep dasar desa Adat atau juga disebut desa Pakraman menurut Swellengrebel (1984) adalah:
“Desa is often defined as a community of worship. An important part of its function does, indeed, lie in te relegious field”
C. ENTITAS HUKUM ADAT
Dalam setiap desa adat ada beberapa nilai, norma, kaidah dan keyakinan sosial yang disebut awig desa adat. Awig ini bisa dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Disamping itu juga kesepakatan tentang kaidah sosial diatur dalam Perareman desa adat. Misalnya diatur soal pemberhentian menjadi krama desa akibat; permohonan sendiri untuk pergi ke luar desa atau keluar negara, karena kanorayang (diberhentikan) karena tidak mampu memperbaiki diri untuk tidak melanggar awig.
Dalam setiap awig juga diatur sangksi bagi pelanggar kaidah adat yang disebut pamidanda. Desa berwenang untuk memberikan sangksi pada kram desa yang melanggar kaidah adat. Pemberian sangsi (paniwakan pamidanda) dilakukan oleh bendesa/ prajuru. Ada beberapa jenis pamidanda:
a. Ayahan panukun sisip
b. Danda arta (dosa, danda saha panikel-panikelnya, miwal panikel-panikel urunan
c. Rerampagan
d. Kedaut karang ayahannya
e. Kesepekang
f. Penyangaskara
Pemidanda yang diberikan disesuaikan dengan kesalahan yang dibuat oleh krama desa. Semua uang dan benda hasil pamidanda masuk menjadi milik desa.
D. KEPEMIMPINAN
Desa pakramna merupakan negara kecil yang self contained unit, sehingga korn menyebut suatu republik desa (Dorprepubliek). Pelaksanaan pemerintahnnya sangat demokratis. Penetuan kepemimpinan di desa tidak terbatas hanya pemilihan saja tetapi juga mengenal sistem rangking (ulu apad), mohon petunjuk dari Tuhan (Nyanjan) dan keturunan (turunan). Pengambilan keputusan selalu merupakan kehendak bersama dan kesepakatan.
Konsepsi kepemimpinan yang dikembangkan di desa pakraman adalah pemipin merupakan “guru” yang bermakna orang tua atau anak lingsir. Dengan demikian pimpinan desa pakraman bukan menggunakan istilah kepala melainkan ketua (kabayan, bayan, kelihan, kiha, kumpi, sanat, tuha-tuha).
Kepemimpinan desa adat di Bali dilakukan oleh Prajuru. Tugas Prajuru adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan awig-awig desa adat;
2. Mengatur penyelengaraan upacara keagamanan bagi desa adat, sesuai dengan sastra agama
3. Mengusahakan perdamaian dan menyelesaikan teradap sengketa-sengketa adat ( Kewenangan Prajuru Desa adat sebagai hakim desa (dorpsrechters) adalah kewenangan asli berdasarkan hukum adat)
4. Mengembangkan kebudayaan daerah dalam upaya melestarikan kebuadayaan daerah dalam rangka memperkaya kasanah kebudayaan nasional.
5. Membina dan mengkoordinasikan masyarakat hukum adat mulai dari keluarga berdasarkan adat istiadat yang berlaku pada setiap desa adat guna meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotongroyongan
6. Mewakili desa adat dan bertindak atas nama untuk desa adata dalams egala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
7. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan harta dan pusaka desa adat
E. HUBUNGAN SOSIAL
Konsep dan nilai dasar yang dipakai pedoman dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah tat twam asi, konsepsi dasar itu melahirkan nilai-nilai sebagai berikut:
1. Kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung, subayantaka)
2. Keselarasan (sagilik-saguluk, briuk sapanggul)
3. Kapatutan( paras-paros, ngawe sukaning wong len)
Dalam kehiduapn sosial swadarma (kewajiban) lebih diutamakan daripada swadhikara (hak). Pelaksanaan swadarma harus mengikuti asas sasana manut linggih dan linggih manut sesana. Swadhikara meliputi:
a. sidhikara sumbah
b. sidhikara parid
c. sidhikara waris
d. sidhikara beksa
F. KARAKTERISTIK DESA ADAT DI BAL
Desa adat di Bali dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Desa adat pegunungan/ Bali Age
Desa adat ini dibentuk sebelum kedatangan Majapahit. Salah satu karakteristik yang menonjol dari desa-desa Bali Age adalah masih dipertahankannya komunalisme dalam interaksi sosial dan distribusi sumberdaya ekonomi-politik. Sehingga kepemilikan tanah di desa-desa Bali Age cenderng bersifat komunal begitujuga dengan kepemimpinan sosial yang ada di desa tersebut bersifat komunal. Pada desa-desa adat Bali Age ada beberapa variasi strktur pemerintahan (prajuru). Misalnya di desa Bayung Gde, struktur prajurunya menganut sistem pemerintahan kembar (2 orang jero banjar) adalah sebagai berikut:
a. 2 orang Jero Bayan (Jero Bayan Muncuk dan Jero Bayan Nyoman)
b. 2 orang jero Bahu (Muncuk dan Nyoman)
c. 2 orang jero Pati (Muncuk dan Nyoman)
d. 2 orang Jero Singgukan (Muncuk dan Nyoman)
Ada di beberapa desa adat Bali Age yang menganut sistem pemerintahn tunggal seperti di desa Timbrah, Karangasem, susunan Prajurunya sebagai berikut:
a. Bapa Desa Timbrah
b. Ida Bapa kebayan
c. Para Buyut (4 orang)
d. Sedahan (4 orang)
e. Juru Tenung (1 orang)
f. Para Mangku
g. Klian Desa (4orang)
h. Penyarikan
i. Dangiang
j. Juru Ider
k. Juru Sapuh
l. Juru Payas
Ada beberapa desa adat bali age yang menganut sisrtem pemerintahan kolektif dimana pejabat puncakna terdiri dari satu dewan seperti di desa adat Tenganan Pegringsingan. Strukturnya adalah sebagai berikut:
a. 5 orang luanan
b. 6 orang bahan duluan
c. 6 orang bahan tebenan
d. 6 orang Tambalampu Duluan
e. 6 orang Tambalapu Tebenan
f. Pengeluduan (sisanya)
2. Desa Adat Dataran/ Apanage
Desa-desa Dataran/ Apanage merupakan desa yang dibentuk setelah ekspansi Gadjah Mada ke Bali pada tahun 1350. Sehingga desa yang dibangun sangat dipengaruhi oleh konsep Desa di Jawa yang lebih hierakis. Sehingga, di desa-desa Bali Dataran (Apanage) dan desa adat baru umumnya mempunyai struktur prajuru tunggal; yang terdiri dari:
a. Bendesa/ Kelihan Adat sebagai pimpinan Prajuru Adat
b. Petajuh adalah wakil Bendesa
c. Penyarikan adalah Juru Tulis
d. Kasinoman adalah Juru Arah
e. Pemangku yang membidangi urusan upacara Agama di Pura
f. Pasedahan/ Petengan adalah Bendahara
3. Desa Adat Baru
Desa adat ini merupakan desa adat yang baru dibentuk sebagai akibat pemisahan diri dari desa adat induk (umumnya desa adat apanage). Pemisahan itu dilakukan karena dua faktor utama; friksi/ fragmentasi yang muncul akibat konflik wangsa atau terjadi pemekaran akibat jumlah populasi yang terlalu besar di desa induk.
G. NEGARA, REGULASI DAN MARGINALISASI
DESA ADAT (KOLONIAL-ORDE BARU)
Marginalisasi desa adat di Bali dimulai masuknya kekuasaan pemeintah Hindia Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa di Bali. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan dua sistem pemerintahan; sistem pemerintahan langsung di bawah Belanda dan sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut dengan daerah Swapraja.[3] Dalam penyelengaraan pemerintahan, Pemerintah Belanda memanfaatkan Perbekel sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Dengan Perbekel yang diangkat sendiri, Belanda membangun suatu lembaga administrasi di tingkat desa dengan membentuk desa baru bentukan pemerintah kolonial. Dengan desa yang baru diharapkan didalamnya akan terdapat 200 orang penduduk desa yang siap menjalankan tugas-tugas rodi. Dengan demikian muncul dualisme desa yaitu desa adat dan desa dinas. Urusan agama dan adat diegang oleh Desa Adat,[4] sedangkan urusan administrasi pemeintahan dilakukan oleh Desa Dinas. Fungsi Desa Dinas adalah dalam lapangan pemerintahan umum, kecuali adat dan agama, sedangkan pengairan/ pertanian dikelola oleh Subak. Dengan demikian desa dinas dapat juga dianggap sebagai desa adaministratif dalam arti tertentu, karena tugasnya sekedar melaksanakan urusan administrasi pemerintahan.
Sebelumnya, pada tahun 1903 diumumkan UU Desentralisasi yang menciptakan Dewan-Dewan lokal, yang mempunyai wewenang untuk mebuat peraturan-peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Untuk mengatur pedesaan, dikeluarkan Inandsche Gemeente Ordonantie, yang kemudian dibedakan bagi pedesaan yang terdapat di Pulau Jawa- Madura dengan pedesaan yang ada di luar Jawa- Madura. Bagi desa-desa di Jawa- Madura diberlakukan Inlandche Gemeente Ordonantie Stb. 1906 no. 83 dan bagi desa-desa di luar Jawa-Madura diberlakukan Inlandsche Gemeente Ordonatie Buitengewesten, Stb. 1938 no. 490 jo Stb. 1938 no. 681.
Paska Kolonial
Setelah kemerdekaan, keberadaan di desa adat di Bali tetap diakui keberadaannya terutama dalam pasal 18 UUD 1945, desa adat tercakup dalam pengertian “volksgemeenschappen” (persekutuan rakyat), dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, oleh karena mmepunyai susunan asli. Selanjutnya ditekankan bahwa NKRI menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Namun demikian, otonomi desa adat lambat laun dikurangi. Hal itu terlihat dari dikeluarkannya UU Darurat no. 1 tahun 1951. Dalam undangundang ini disebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat dan agama di Bali ditangani oleh dua lembaga pengadilan yaitu Pengadilan Desa (Dorp Justitie, Village Justice) dan Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negeri. Dengan demikian otonomi desa adat sebagai entitas hukum adat menjadi dibatasi. Bahkan lebih jauh lagi, berdasarkan keputusan MA 8 Januari 1958, dianyatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak terikat oleh keputusan hakim perdaiaman desa, mereka hanya diharuskan memperhatikan keputusan tersebut.
Kerangka paradigamatik pengaturan politik oleh Negara Kolonial Belanda dilanjutkan oleh UU no. 5 tahun 1979 yang dapat dilihat dari dua tataran. Pertama, pengaturan politik yang dibangun Negara memungkinkan terjadinya dualisme pengertian desa di Bali yakni desa dinas (Keprebekelan) dan desa adat (Desa Pakraman). Desa dinas dijadikan desa menjadi perangkat pemerintahan yang terendah dan langsung di bawah camat. Sedangkan desa pakraman tetap mendapatkan pengakuan lewat pasal 18 UUD 45. Implikasi lebih jauh dari dipertahankanya dualisme desa di Bali adalah semakian berkurangnya otonomi desa adat dari pengaturan dalam tiga ranah ( Parahyangan, Palemahan dan Pawongan) menjadi hanya mengaur Parhyangan. Dua ranah yang lain diambil alih oleh desa dinas, karena desa dinas mengatur soal kesejahteraan dan pembangunan.
Kedua, walaupun desa adat diakui keberadaannya oleh UU no. 5 tahun 1979,[5] namun pada dasarnya Negara sangat membatasi otonomi desa adat. Hal itu terlihat dari; (a). Negara meletakan pengakuan itu dalam kerangka paradigma politik developmentalisme dan integralistik.[6] (b). sebagai turunan paradigma developmentalisme dan integralistik tersebut, dikeluarkan Permen Mendagri no. 11 tahun 1984, tentang pembinaan dan pengembangan adat-istiadat di tingkat desa/ kelurahan. Dalam PermenMendagri ini terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat. Sehingga, adat istiadat diberi pengertian kebiasaan-kebiasaan yang hidup serta dipertahankan di dlm pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan Pancasila. Disamping itu dalam Permen Mendagri lebih digunakan istilah pembinaan dan pengembangan yang memungkinkan adanya intervensi Negara pada otonomi desa adat. Permen Mendagri itu dilanjutkan dengan Instruksi Mendagri no. 17/1989 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat di wilayah desa/ kalurahan; instruksi ini berisikan instruksi kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia untuk menetapkan Permen Mendagri no. 11 tahun 1984.
Menindaklanjuti instruksi itu, di Propinsi Bali dikeluarkan Perda no. 6 tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Dati I Bali (Perda Desa Adat). Dalam Perda itu disampaikan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Namun dalam pasal 10 ayat 1 disamapaikan bahwa desa adat disamping sebagai kesatuan masyarakat hukum, juga sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah camat. Berdasarkan Perda Desa adat, pembinaan desa adat dilakukan oleh Gubernur, yang dibantu oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan pembinaan Lembaga Adat. Berdasarkan perda no. 12/ 1988 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Dinas Kebudayaan, maka Dinas Kebudayaan juga melaksanakan tugaspembinaan terhadap desa adat dan adat-istiadat di daerah Bali. Salah satu bentuk pembinaan adalah lomba desa adat
Permen Mendagri no. 11 tahun 1984 diganti dengan Permen Mendagri no. 3 tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Dalam peraturan itu ditegaskan bahwa dalam usaha melaksanakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat dan lembaga adat, Pemda dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dan atau langkah-langkah yang berdayaguna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada permen Mendagri ini setelah dimusyawarahkan dengan pimpinan atau pemuka adat di daerah. Dalam Permen ini juga dibedakan secara tegas istilah adat, kebiasaan, lembaga adat dan hukum adat.
Adat istiadat dirumuskan sebagai seperangkat nilai, norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa atau satuan masyarakat lainnya. (value, norm dan principle). Kebiasaan; pola-pola kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat yang bersumber pada hukum adat atau adat istiadat. (pattern of behavior). Lembaga adat; suatu organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam masyarakat hukum adat tertentu. (aspek social organization).
Dalam Permenmendagri ini juga diatur soal kedudukan serta pengakuan otonomi lembaga-lembaga adat yang terwujud dalam penegasan hak, wewenang dan kewajiban dari lembaga adat. Adapun hak, wewenang dan kewajiban lembaga adat;
· mewakili lembaga adat keluar, yakni dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat
· mengelola hak-hak adat dan atau harta benda kekayaan adat
· menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara dat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan kewajiban lembaga adat dirumuskan sebagai berikut:
· membantu kelancaran penyelenggaraan pemeintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.
· Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
· Menciptakan suasana yang dapat menjamin tetap terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam memperkukuh perstuan dan kesatuan bangsa.
Dalam pasal 8 Permen itu ditentukan bahwa lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan di Propinsi Dati I, Kabupaten/ Kodya Dati II, Kecamatan dan atau desa/ kelurahan. Dengan demikian kerangka regulasi Negara, baik pada tingkat nasional maupun lokal dalam bentuk Kepmen Mendagri dan Perda Desa Adat ternyata berakibat jauh pada terbukanya “ruang” bagi intervensi Negara dalam ‘wilayah-wilayah adat”. Intervensi itu menimbulkan akibat lemahnya posisi tawar desa adat dengan entitas-entitas ekonomi dna politik di luar desa adat.
H. DESA ADAT PASKA UU NO. 22 TAHUN 1999
H.1. Pergeseran Paradigmatik
Perubahan lingkungan politik yang sangat mendasar setelah kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, menimbulkan pergeseran paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa adat. Pergeseran itu terlihat dari; Pertama, dikeluarkanya Perda tentang Desa Pekraman tahun 2001 sebagai pengganti Perda yang terdahulu yang mengatur tentang Desa Adat. Perda tersebut terkesan lebih aspiratif, memperkuat dan menghargai eksistensi desa adat di Bali.
Kedua, adanya sejumlah kosensi ekonomi yang diberikan pemerintah provinsi dan kabupaten kepada desa adat. Pemerintah provinsi memberikan sepeda motor pada Bendesa Adat. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengalokasikan 100 juta pada setiap desa adat di badung. Pemerintah kabupaten Gianyar mebebrikan 20 juta per desa adat serta mendapatkan prosentase dari retribusi yang dipunbgut 1 km dari pasar Gianyar. Di Kabupaten Tabanan, pemerintah kabupaten mengikut sertakan desa adat beraban dalam mengelola obyek wisata tanah Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada desa adat Beraban.
Ketiga, desa adat diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan seharai-hari di tingkat desa. Misalnya, ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
H.2. Isu-isu Strategis
Namun demikian, ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi oleh desa adat di Bali:
H.2.1. Otonomi Desa Adat
a. Dualisme pemerintah Desa
Keberadaan desa dinas menjadi perdebatan utama di Bali belakangan ini. Ada tiga kelompok pemikiran menyangkut eksistensi desa dinas; Pertama, kelompok pemikiran yang ingin menghapuskan desa dinas karena dianggaps ebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Solusi yang ditawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukan ke dalam desa adat. Kedua, pemikiran yang tetap ingin memeprtahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Pemikiran ketiga adalah ingin mempertegaskan wilayah kewenangan desa adat dan desa dinas.
b. Tata Hubungan Kabupaten- Desa Adat
Selama ini tata hubungan kabupaten dan desa adat belum dirumuskan secara jelas (baik dalam secara kelembagaan maupun keuangan) sehingga kebijakan yang dibangun sangat bersifat ad-hoc dan terkesan politis. Kosensi yang diberikan kepada desa adat bisa dicurigai sebagai budi baik Bupati yang sangat rentang dengan selubung politis.
c. Pengakuan Desa Adat sebagai entitas hukum
Selama ini desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum serta memiliki kewenangan untuk hakim perdamaian desa harus direduksi oleh keberadaan hukum positif dan lembaga peradilan yang tidak harus/ wajib menggunakan keputusan desa sebagai acuan. Sehingga akan menimbulkan dualisme hukum.
d. Konflik antar desa adat
Muncul fenomena konflik antar desa adat; tidak hanya soal batas wilayah tetapi juga soal tanah-tanah adat. Pola intervensi pemerintah juga sertingkali tidak tepatsehingga terjadi eskalasi konflik
e. Awig-awig yang seragama (Pola Penyeragaman)
Awig-awig yang dibuat seringakali difasilitasi oleh pemerintah dengan format yang baku dan seragam. Penyeragaman awiga-awig ini membuat format desa di Bali menjadi homogen.
f. Penggunaan Pecalang untuk kepentingan ekonomi dan politik
Pecalang seringkali digunakan untuk kepentingan akumulasi ekonomi (penjual jasa keamanan) maupun untuk kepentingan politik (Satgas Partai).
H.2.2. Demokrasi Desa
a. Lemahnya kapasitas kelembagaan desa adat
Demensi teknokrasi dari kelembagaan desa adat masih lemah. Hal ini terlihat dari kopetensi desa adat dalam menjalankan mekanisme kelembagaan. Sehingga struktur kelembagaan tidak bisa berjalan secara fungsional. Struktur yang ada juga jadi bersifat formal.
b. Demokrasi Desa adat
Relasi antar elemen di desa adat tidak seimbang. Sudah menjadi sesuatu yang fenomenal bahwasanya pengambilan keputusan/ kebijakan desa adat sangat tergantung pada the big man (orang kuat secara ekonomi, politik, tradisi). Sehingga desa adat membentuk rejimitasi baru.
c. Respon terhadap Pluralisme (Heterogenitas)
Seringkali repson terhadap heterogenitas dilakukan dengan mengambil sikap nativisme dan diskrimianasi terhadap pendatang. Misalnya perlakukan terhadap pendatang tidak sama dengan krama nuwed (asli). Inilah yang kemudian mmebuat sebagai kalangan ingin tetap memeprtahankan konsep desa dinas.
d. Governance Desa Adat
Salah satu yang menjadi persoalan adalah transpransi dan akuntabilitas lembaga desa adat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Akuntabilitas menjadi agenda penting karena beberapa tempat muncul protes terhadap prajuru karena dianggap tidak transparan (mengwi) dalam mengelola dana.
e. Konflik Desa Adat dengan kelompok-individu
Beberapa kasus Kesepekan (dikucilkan) terjadi akibat tidak diselesaikannya konflik antara desa adat dengan sebuah kelompok atau individu. Belum ditemukan mekanisme konflik yang memuaskan untuk menangani soal ini. Intervensi negara seringkali problematik, karena akan dibawa ke penyelasaian hukum. Hukum tetap menghasillkan kalah dan menang.
I. REKOMENDASI
Berikut ini ingin disampaikan beberapa rekomendasi sehubungan dengan hasil Need Assesment yang sudah dilakukan di Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
I.1. Penguatan otonomi desa adat melalui:
a. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dan desa dinas
b. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dengan Kabupaten
c. Pengakuan Hukum dan Pengadilan Adat
d. Mekanisme penyelesaikan konflik antar desa adat melalui pembentuk lembaga supra desa adat
e. Politik Kebudayaan yang menghargai keunikan setiap desa adat (desa mawa cara) tetapi ada beberapa yang diatur sama untuk menjamin kepastian seperti masalah pendatang
I.2. Pemeberdayaan Desa Adat
a. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa adat
b. Demokratisasi desa adat
c. Semangat pluralisme di desa adat yang tercermin di awig-awig
d. Good Governance di desa adat
e. Mekanisme penyelesaian konflik yang humanis
[1] Need Assesment Desa Adat di Bali dilaksanakan di Kabupaten Gianyar. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 19 Mei s/d. 28 Mei 2002 oleh staf IRE yakni AA.GN. Ari Dwipayana dan Krisdyatmiko.
[2] Dalam Perda no. 6 tahun 1986, pada pasal 1huruf e,
[3] Oleh Van Vollenhoven, Indonesia yang terdiri dari 250 wilayah otonom dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat (adtrechtskringen), dimana Bali dan Lombok ditempatkan pada urutan ke-16 yang meliputi 9 anak lingkungan hukum; Bali, tenganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok dan Sumbawa. Namun, Pemerintahan kolonial Belanda sangat kebingungan dalam membedakn mana hukum rakyat (volkarecht) dan yang mana lembaga adat (volksistellingen) serta gebruiken (kebiasana-kebiasaan).
[4] Berdasarkan Stb. 1935 no. 102 ditambahkan pasal 3 a R.O.yang mengakui keberadaan pengadilan desa melalui perundang-undangan.. Menurut pasal 3 a Rechterlijk Organisatie (RO) seorang hakim desa (dorps rechter) menjatuhkan keputusan menurut hukum adat. Namun dalam ayat 2 pasal 3 a RO tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk mengajukan perkaranya kepada hakim biasa. Ketentuan itu juga diperkuat oleh pasal 120 HIR dan 143 a RBg.
[5] Dinyatakan bahwa undnag-undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup
[6] Sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional.
LAPORAN NEED ASSESMENT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT ADAT
DESA ADAT DI BALI[1]
A. PENGANTAR
Sejak jaman Bali Kuna (sekitar abad 9) masyarakat Bali telah mengenal masyakat desa yang disebut “kraman”. Tempat atau wilayah dimana n berada disebut “desa” atau Desa Pakraman (Wanua, tani). Desa pakraman ini pada awalnya merupakan kelompok cikal bakal atau keturunan pendiri pemukiman yang sejak awal telah mendiami daerah tertentu. Hal ini termuat dalam teks Bhuwana Tatwa Maharsi Markandheya dinyatakan bahwa ketika Markandheya setelah banyak merambas hutan, Markandeya berkeinginan mmebangun Kahyangan desa. Pada saat yang sama Markandeya mmeberikan pengikutnya bagian tanah, supaya cukup pekarangan serta sawah dan ladang. Penyelenggaranya disebut desa. Desa inilah yang mempunyai tugas kewajiban mengurus pura kahyangan desa. (Ginarsa;1979).
Dengan munculnya pengaruh kekuasaan Hindu Jawa pada abad ke 14 mulailah desa di bawah pengaruh raja-raja. Keadaan ini menunjukan bahwa desa berfungsi ganda; sebagai kelompok cikal bakal pemuja leluhur (religius) dan fungsi desa sebagai entitas sosial politik yang terjalin dengan kekuasaan raja (dinasti Majapahit pad abad ke-16). Raffles (1815) menyatakan bahwa seorang raja dibantu oleh seorang “Parbakal” untuk mengawasi desa-desa dan sekaligus sebagai agen dalam perubahan sosial di esa.
Lefrinck (1886-1887) mengatakan desa merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri. Susunan pemerintahan bersifat demokratis dan memiliki otonomi. Ciri khas dari desa pakramandi Bali adalah dimilikinya Kahyangan Tiga.
B. OTENTISITAS DESA ADAT
Dengan demikian desa adat sebagai desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekyaaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri[2].
Berdasarkan rumusan di atas dapat dikenali unsur-unsur yang merupakan ciri pokok dari sebuah desa adat; yaitu:
1. Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali; berarti desa adat diikat oleh adat-istiadat dan ukum adat yang tmbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat ini dikenal dengan nama awig-awig yang menjadi pedoman dasar dari desa adat dalam pemerintahannya.
2. mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hdup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun
3. Dalam ikatan Kahyangan Tiga (kahyangan Desa)
4. Mempunyai wilayah tertentu; yang disebut prabhumian desa atau wewengkon bale agung
5. Mempunyai harta kekayaan sendiri
6. Berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonomi), dalam:
a. mmebuat aturan sendiri (awig-awig) berdasarkan desa mawa cara
b. melaksanakans endiri aturan itu melalui Prajuru
c. mengadili dan menyelesaikan sendiri (oleh lembaga peradilan desa;Kertha Desa) yang memberikan keputusan (niwakang pamutus)
d. melakukan pengamanan sendiri (pakemit, pagebagan dan pecalangan)
Desa Adat merupakan desa otonom (sima swatantra) apabila sudah memenuhi empat unsur yang merupakan syarat (Catur Bhuta Desa), lihat Wardha:1987):
1. Parimandala (lingkungan wilayah desa); Parimandala desa ditata berdasarkan ajaran Tri Mandala yang mengambil perupamaan Tri Loka dalam kualifikasi nista, madya, uttama. Ikatan harmonis antara kahyangan desa dengan pawongan (karaman dan datu) serta palemehan (parimandala) melahirkan konsepsi Tri Hita Karana.
2. Karaman (warga desa);
3. Datu (pengurus, pimpinan desa)
4. Tuah (perlindungan dari Hyang Widhi); Tuah diwujudkan dalam Kahyangan Desa sebagai tampat karaman dan datu memohon berkah dan perlindungan.
Untuk menentukan suatu komunitas hukum sebagai desa pakraman ditentukan oleh adanya Pura/ Kahyangan Desa karena dalam penataan desa pakraman, antara Kahyangan dengan desa pakraman adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Sehingga, salah satu konsep dasar desa Adat atau juga disebut desa Pakraman menurut Swellengrebel (1984) adalah:
“Desa is often defined as a community of worship. An important part of its function does, indeed, lie in te relegious field”
C. ENTITAS HUKUM ADAT
Dalam setiap desa adat ada beberapa nilai, norma, kaidah dan keyakinan sosial yang disebut awig desa adat. Awig ini bisa dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis. Disamping itu juga kesepakatan tentang kaidah sosial diatur dalam Perareman desa adat. Misalnya diatur soal pemberhentian menjadi krama desa akibat; permohonan sendiri untuk pergi ke luar desa atau keluar negara, karena kanorayang (diberhentikan) karena tidak mampu memperbaiki diri untuk tidak melanggar awig.
Dalam setiap awig juga diatur sangksi bagi pelanggar kaidah adat yang disebut pamidanda. Desa berwenang untuk memberikan sangksi pada kram desa yang melanggar kaidah adat. Pemberian sangsi (paniwakan pamidanda) dilakukan oleh bendesa/ prajuru. Ada beberapa jenis pamidanda:
a. Ayahan panukun sisip
b. Danda arta (dosa, danda saha panikel-panikelnya, miwal panikel-panikel urunan
c. Rerampagan
d. Kedaut karang ayahannya
e. Kesepekang
f. Penyangaskara
Pemidanda yang diberikan disesuaikan dengan kesalahan yang dibuat oleh krama desa. Semua uang dan benda hasil pamidanda masuk menjadi milik desa.
D. KEPEMIMPINAN
Desa pakramna merupakan negara kecil yang self contained unit, sehingga korn menyebut suatu republik desa (Dorprepubliek). Pelaksanaan pemerintahnnya sangat demokratis. Penetuan kepemimpinan di desa tidak terbatas hanya pemilihan saja tetapi juga mengenal sistem rangking (ulu apad), mohon petunjuk dari Tuhan (Nyanjan) dan keturunan (turunan). Pengambilan keputusan selalu merupakan kehendak bersama dan kesepakatan.
Konsepsi kepemimpinan yang dikembangkan di desa pakraman adalah pemipin merupakan “guru” yang bermakna orang tua atau anak lingsir. Dengan demikian pimpinan desa pakraman bukan menggunakan istilah kepala melainkan ketua (kabayan, bayan, kelihan, kiha, kumpi, sanat, tuha-tuha).
Kepemimpinan desa adat di Bali dilakukan oleh Prajuru. Tugas Prajuru adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan awig-awig desa adat;
2. Mengatur penyelengaraan upacara keagamanan bagi desa adat, sesuai dengan sastra agama
3. Mengusahakan perdamaian dan menyelesaikan teradap sengketa-sengketa adat ( Kewenangan Prajuru Desa adat sebagai hakim desa (dorpsrechters) adalah kewenangan asli berdasarkan hukum adat)
4. Mengembangkan kebudayaan daerah dalam upaya melestarikan kebuadayaan daerah dalam rangka memperkaya kasanah kebudayaan nasional.
5. Membina dan mengkoordinasikan masyarakat hukum adat mulai dari keluarga berdasarkan adat istiadat yang berlaku pada setiap desa adat guna meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotongroyongan
6. Mewakili desa adat dan bertindak atas nama untuk desa adata dalams egala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
7. Mengurus dan mengelola hal-hal yang berkaitan dengan adat sehubungan dengan harta dan pusaka desa adat
E. HUBUNGAN SOSIAL
Konsep dan nilai dasar yang dipakai pedoman dalam hubungan sosial dan kekerabatan adalah tat twam asi, konsepsi dasar itu melahirkan nilai-nilai sebagai berikut:
1. Kerukunan (saling asah, saling asih, saling asuh, salunglung, subayantaka)
2. Keselarasan (sagilik-saguluk, briuk sapanggul)
3. Kapatutan( paras-paros, ngawe sukaning wong len)
Dalam kehiduapn sosial swadarma (kewajiban) lebih diutamakan daripada swadhikara (hak). Pelaksanaan swadarma harus mengikuti asas sasana manut linggih dan linggih manut sesana. Swadhikara meliputi:
a. sidhikara sumbah
b. sidhikara parid
c. sidhikara waris
d. sidhikara beksa
F. KARAKTERISTIK DESA ADAT DI BAL
Desa adat di Bali dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
1. Desa adat pegunungan/ Bali Age
Desa adat ini dibentuk sebelum kedatangan Majapahit. Salah satu karakteristik yang menonjol dari desa-desa Bali Age adalah masih dipertahankannya komunalisme dalam interaksi sosial dan distribusi sumberdaya ekonomi-politik. Sehingga kepemilikan tanah di desa-desa Bali Age cenderng bersifat komunal begitujuga dengan kepemimpinan sosial yang ada di desa tersebut bersifat komunal. Pada desa-desa adat Bali Age ada beberapa variasi strktur pemerintahan (prajuru). Misalnya di desa Bayung Gde, struktur prajurunya menganut sistem pemerintahan kembar (2 orang jero banjar) adalah sebagai berikut:
a. 2 orang Jero Bayan (Jero Bayan Muncuk dan Jero Bayan Nyoman)
b. 2 orang jero Bahu (Muncuk dan Nyoman)
c. 2 orang jero Pati (Muncuk dan Nyoman)
d. 2 orang Jero Singgukan (Muncuk dan Nyoman)
Ada di beberapa desa adat Bali Age yang menganut sistem pemerintahn tunggal seperti di desa Timbrah, Karangasem, susunan Prajurunya sebagai berikut:
a. Bapa Desa Timbrah
b. Ida Bapa kebayan
c. Para Buyut (4 orang)
d. Sedahan (4 orang)
e. Juru Tenung (1 orang)
f. Para Mangku
g. Klian Desa (4orang)
h. Penyarikan
i. Dangiang
j. Juru Ider
k. Juru Sapuh
l. Juru Payas
Ada beberapa desa adat bali age yang menganut sisrtem pemerintahan kolektif dimana pejabat puncakna terdiri dari satu dewan seperti di desa adat Tenganan Pegringsingan. Strukturnya adalah sebagai berikut:
a. 5 orang luanan
b. 6 orang bahan duluan
c. 6 orang bahan tebenan
d. 6 orang Tambalampu Duluan
e. 6 orang Tambalapu Tebenan
f. Pengeluduan (sisanya)
2. Desa Adat Dataran/ Apanage
Desa-desa Dataran/ Apanage merupakan desa yang dibentuk setelah ekspansi Gadjah Mada ke Bali pada tahun 1350. Sehingga desa yang dibangun sangat dipengaruhi oleh konsep Desa di Jawa yang lebih hierakis. Sehingga, di desa-desa Bali Dataran (Apanage) dan desa adat baru umumnya mempunyai struktur prajuru tunggal; yang terdiri dari:
a. Bendesa/ Kelihan Adat sebagai pimpinan Prajuru Adat
b. Petajuh adalah wakil Bendesa
c. Penyarikan adalah Juru Tulis
d. Kasinoman adalah Juru Arah
e. Pemangku yang membidangi urusan upacara Agama di Pura
f. Pasedahan/ Petengan adalah Bendahara
3. Desa Adat Baru
Desa adat ini merupakan desa adat yang baru dibentuk sebagai akibat pemisahan diri dari desa adat induk (umumnya desa adat apanage). Pemisahan itu dilakukan karena dua faktor utama; friksi/ fragmentasi yang muncul akibat konflik wangsa atau terjadi pemekaran akibat jumlah populasi yang terlalu besar di desa induk.
G. NEGARA, REGULASI DAN MARGINALISASI
DESA ADAT (KOLONIAL-ORDE BARU)
Marginalisasi desa adat di Bali dimulai masuknya kekuasaan pemeintah Hindia Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) menggantikan posisi kerajaan atas desa-desa di Bali. Dalam penyelenggaraan pemerintahan di Bali, pemerintahan kolonial Belanda menerapkan dua sistem pemerintahan; sistem pemerintahan langsung di bawah Belanda dan sistem pemerintahan sendiri oleh raja-raja yang disebut dengan daerah Swapraja.[3] Dalam penyelengaraan pemerintahan, Pemerintah Belanda memanfaatkan Perbekel sebagai wakilnya untuk mengawasi keadaan di desa. Dengan Perbekel yang diangkat sendiri, Belanda membangun suatu lembaga administrasi di tingkat desa dengan membentuk desa baru bentukan pemerintah kolonial. Dengan desa yang baru diharapkan didalamnya akan terdapat 200 orang penduduk desa yang siap menjalankan tugas-tugas rodi. Dengan demikian muncul dualisme desa yaitu desa adat dan desa dinas. Urusan agama dan adat diegang oleh Desa Adat,[4] sedangkan urusan administrasi pemeintahan dilakukan oleh Desa Dinas. Fungsi Desa Dinas adalah dalam lapangan pemerintahan umum, kecuali adat dan agama, sedangkan pengairan/ pertanian dikelola oleh Subak. Dengan demikian desa dinas dapat juga dianggap sebagai desa adaministratif dalam arti tertentu, karena tugasnya sekedar melaksanakan urusan administrasi pemerintahan.
Sebelumnya, pada tahun 1903 diumumkan UU Desentralisasi yang menciptakan Dewan-Dewan lokal, yang mempunyai wewenang untuk mebuat peraturan-peraturan tentang pajak dan urusan-urusan bangunan. Untuk mengatur pedesaan, dikeluarkan Inandsche Gemeente Ordonantie, yang kemudian dibedakan bagi pedesaan yang terdapat di Pulau Jawa- Madura dengan pedesaan yang ada di luar Jawa- Madura. Bagi desa-desa di Jawa- Madura diberlakukan Inlandche Gemeente Ordonantie Stb. 1906 no. 83 dan bagi desa-desa di luar Jawa-Madura diberlakukan Inlandsche Gemeente Ordonatie Buitengewesten, Stb. 1938 no. 490 jo Stb. 1938 no. 681.
Paska Kolonial
Setelah kemerdekaan, keberadaan di desa adat di Bali tetap diakui keberadaannya terutama dalam pasal 18 UUD 1945, desa adat tercakup dalam pengertian “volksgemeenschappen” (persekutuan rakyat), dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa, oleh karena mmepunyai susunan asli. Selanjutnya ditekankan bahwa NKRI menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Namun demikian, otonomi desa adat lambat laun dikurangi. Hal itu terlihat dari dikeluarkannya UU Darurat no. 1 tahun 1951. Dalam undangundang ini disebutkan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan masalah adat dan agama di Bali ditangani oleh dua lembaga pengadilan yaitu Pengadilan Desa (Dorp Justitie, Village Justice) dan Pengadilan Swapraja (Zelfbestuursrechtspraak) yang kemudian menjadi pengadilan negeri. Dengan demikian otonomi desa adat sebagai entitas hukum adat menjadi dibatasi. Bahkan lebih jauh lagi, berdasarkan keputusan MA 8 Januari 1958, dianyatakan bahwa hakim pengadilan negeri tidak terikat oleh keputusan hakim perdaiaman desa, mereka hanya diharuskan memperhatikan keputusan tersebut.
Kerangka paradigamatik pengaturan politik oleh Negara Kolonial Belanda dilanjutkan oleh UU no. 5 tahun 1979 yang dapat dilihat dari dua tataran. Pertama, pengaturan politik yang dibangun Negara memungkinkan terjadinya dualisme pengertian desa di Bali yakni desa dinas (Keprebekelan) dan desa adat (Desa Pakraman). Desa dinas dijadikan desa menjadi perangkat pemerintahan yang terendah dan langsung di bawah camat. Sedangkan desa pakraman tetap mendapatkan pengakuan lewat pasal 18 UUD 45. Implikasi lebih jauh dari dipertahankanya dualisme desa di Bali adalah semakian berkurangnya otonomi desa adat dari pengaturan dalam tiga ranah ( Parahyangan, Palemahan dan Pawongan) menjadi hanya mengaur Parhyangan. Dua ranah yang lain diambil alih oleh desa dinas, karena desa dinas mengatur soal kesejahteraan dan pembangunan.
Kedua, walaupun desa adat diakui keberadaannya oleh UU no. 5 tahun 1979,[5] namun pada dasarnya Negara sangat membatasi otonomi desa adat. Hal itu terlihat dari; (a). Negara meletakan pengakuan itu dalam kerangka paradigma politik developmentalisme dan integralistik.[6] (b). sebagai turunan paradigma developmentalisme dan integralistik tersebut, dikeluarkan Permen Mendagri no. 11 tahun 1984, tentang pembinaan dan pengembangan adat-istiadat di tingkat desa/ kelurahan. Dalam PermenMendagri ini terjadi kekaburan batasan antara adat istiadat, kebiasaan dan lembaga adat. Sehingga, adat istiadat diberi pengertian kebiasaan-kebiasaan yang hidup serta dipertahankan di dlm pergaulan sehari-hari dalam masyarakat sesuai dengan Pancasila. Disamping itu dalam Permen Mendagri lebih digunakan istilah pembinaan dan pengembangan yang memungkinkan adanya intervensi Negara pada otonomi desa adat. Permen Mendagri itu dilanjutkan dengan Instruksi Mendagri no. 17/1989 tentang pembinaan dan pengembangan lembaga adat di wilayah desa/ kalurahan; instruksi ini berisikan instruksi kepada Gubernur dan Bupati seluruh Indonesia untuk menetapkan Permen Mendagri no. 11 tahun 1984.
Menindaklanjuti instruksi itu, di Propinsi Bali dikeluarkan Perda no. 6 tahun 1986 tentang kedudukan, fungsi dan peranan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Dati I Bali (Perda Desa Adat). Dalam Perda itu disampaikan bahwa desa adat merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Namun dalam pasal 10 ayat 1 disamapaikan bahwa desa adat disamping sebagai kesatuan masyarakat hukum, juga sekaligus merupakan suatu organisasi pemerintahan yang tidak langsung di bawah camat. Berdasarkan Perda Desa adat, pembinaan desa adat dilakukan oleh Gubernur, yang dibantu oleh Majelis Pembinaan Lembaga Adat dan Badan pembinaan Lembaga Adat. Berdasarkan perda no. 12/ 1988 tentang pembentukan organisasi dan tata kerja Dinas Kebudayaan, maka Dinas Kebudayaan juga melaksanakan tugaspembinaan terhadap desa adat dan adat-istiadat di daerah Bali. Salah satu bentuk pembinaan adalah lomba desa adat
Permen Mendagri no. 11 tahun 1984 diganti dengan Permen Mendagri no. 3 tahun 1997 tentang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat di daerah. Dalam peraturan itu ditegaskan bahwa dalam usaha melaksanakan pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat istiadat, kebiasaan masyarakat dan lembaga adat, Pemda dapat menetapkan berbagai kebijaksanaan dan atau langkah-langkah yang berdayaguna dan berhasil guna dengan berpedoman kepada permen Mendagri ini setelah dimusyawarahkan dengan pimpinan atau pemuka adat di daerah. Dalam Permen ini juga dibedakan secara tegas istilah adat, kebiasaan, lembaga adat dan hukum adat.
Adat istiadat dirumuskan sebagai seperangkat nilai, norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat desa atau satuan masyarakat lainnya. (value, norm dan principle). Kebiasaan; pola-pola kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat yang bersumber pada hukum adat atau adat istiadat. (pattern of behavior). Lembaga adat; suatu organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam masyarakat hukum adat tertentu. (aspek social organization).
Dalam Permenmendagri ini juga diatur soal kedudukan serta pengakuan otonomi lembaga-lembaga adat yang terwujud dalam penegasan hak, wewenang dan kewajiban dari lembaga adat. Adapun hak, wewenang dan kewajiban lembaga adat;
· mewakili lembaga adat keluar, yakni dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan dan mempengaruhi adat
· mengelola hak-hak adat dan atau harta benda kekayaan adat
· menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara dat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Sedangkan kewajiban lembaga adat dirumuskan sebagai berikut:
· membantu kelancaran penyelenggaraan pemeintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kemasyarakatan.
· Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
· Menciptakan suasana yang dapat menjamin tetap terpeliharanya kebhinekaan masyarakat adat dalam memperkukuh perstuan dan kesatuan bangsa.
Dalam pasal 8 Permen itu ditentukan bahwa lembaga adat berkedudukan sebagai wadah organisasi yang berada di luar susunan organisasi pemerintahan di Propinsi Dati I, Kabupaten/ Kodya Dati II, Kecamatan dan atau desa/ kelurahan. Dengan demikian kerangka regulasi Negara, baik pada tingkat nasional maupun lokal dalam bentuk Kepmen Mendagri dan Perda Desa Adat ternyata berakibat jauh pada terbukanya “ruang” bagi intervensi Negara dalam ‘wilayah-wilayah adat”. Intervensi itu menimbulkan akibat lemahnya posisi tawar desa adat dengan entitas-entitas ekonomi dna politik di luar desa adat.
H. DESA ADAT PASKA UU NO. 22 TAHUN 1999
H.1. Pergeseran Paradigmatik
Perubahan lingkungan politik yang sangat mendasar setelah kejatuhan Soeharto pada bulan Mei 1998, menimbulkan pergeseran paradigmatik di tingkat Negara dalam melihat desa adat. Pergeseran itu terlihat dari; Pertama, dikeluarkanya Perda tentang Desa Pekraman tahun 2001 sebagai pengganti Perda yang terdahulu yang mengatur tentang Desa Adat. Perda tersebut terkesan lebih aspiratif, memperkuat dan menghargai eksistensi desa adat di Bali.
Kedua, adanya sejumlah kosensi ekonomi yang diberikan pemerintah provinsi dan kabupaten kepada desa adat. Pemerintah provinsi memberikan sepeda motor pada Bendesa Adat. Pemerintah Daerah Kabupaten Badung mengalokasikan 100 juta pada setiap desa adat di badung. Pemerintah kabupaten Gianyar mebebrikan 20 juta per desa adat serta mendapatkan prosentase dari retribusi yang dipunbgut 1 km dari pasar Gianyar. Di Kabupaten Tabanan, pemerintah kabupaten mengikut sertakan desa adat beraban dalam mengelola obyek wisata tanah Lot, dan memberi 35 % keuntungan pada desa adat Beraban.
Ketiga, desa adat diikutsertakan dalam proses pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan seharai-hari di tingkat desa. Misalnya, ijin investasi harus mendapatkan persetujuan desa adat, setiap pendatang harus mendapatkan rekomendasi dari desa dinas dan desa adat.
H.2. Isu-isu Strategis
Namun demikian, ada beberapa masalah mendasar yang dihadapi oleh desa adat di Bali:
H.2.1. Otonomi Desa Adat
a. Dualisme pemerintah Desa
Keberadaan desa dinas menjadi perdebatan utama di Bali belakangan ini. Ada tiga kelompok pemikiran menyangkut eksistensi desa dinas; Pertama, kelompok pemikiran yang ingin menghapuskan desa dinas karena dianggaps ebagai instrumen kepentingan luar desa untuk masuk ke desa. Solusi yang ditawarkan adalah fungsi kedinasan dimasukan ke dalam desa adat. Kedua, pemikiran yang tetap ingin memeprtahankan pola hubungan seperti sekarang ini. Pemikiran ketiga adalah ingin mempertegaskan wilayah kewenangan desa adat dan desa dinas.
b. Tata Hubungan Kabupaten- Desa Adat
Selama ini tata hubungan kabupaten dan desa adat belum dirumuskan secara jelas (baik dalam secara kelembagaan maupun keuangan) sehingga kebijakan yang dibangun sangat bersifat ad-hoc dan terkesan politis. Kosensi yang diberikan kepada desa adat bisa dicurigai sebagai budi baik Bupati yang sangat rentang dengan selubung politis.
c. Pengakuan Desa Adat sebagai entitas hukum
Selama ini desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum serta memiliki kewenangan untuk hakim perdamaian desa harus direduksi oleh keberadaan hukum positif dan lembaga peradilan yang tidak harus/ wajib menggunakan keputusan desa sebagai acuan. Sehingga akan menimbulkan dualisme hukum.
d. Konflik antar desa adat
Muncul fenomena konflik antar desa adat; tidak hanya soal batas wilayah tetapi juga soal tanah-tanah adat. Pola intervensi pemerintah juga sertingkali tidak tepatsehingga terjadi eskalasi konflik
e. Awig-awig yang seragama (Pola Penyeragaman)
Awig-awig yang dibuat seringakali difasilitasi oleh pemerintah dengan format yang baku dan seragam. Penyeragaman awiga-awig ini membuat format desa di Bali menjadi homogen.
f. Penggunaan Pecalang untuk kepentingan ekonomi dan politik
Pecalang seringkali digunakan untuk kepentingan akumulasi ekonomi (penjual jasa keamanan) maupun untuk kepentingan politik (Satgas Partai).
H.2.2. Demokrasi Desa
a. Lemahnya kapasitas kelembagaan desa adat
Demensi teknokrasi dari kelembagaan desa adat masih lemah. Hal ini terlihat dari kopetensi desa adat dalam menjalankan mekanisme kelembagaan. Sehingga struktur kelembagaan tidak bisa berjalan secara fungsional. Struktur yang ada juga jadi bersifat formal.
b. Demokrasi Desa adat
Relasi antar elemen di desa adat tidak seimbang. Sudah menjadi sesuatu yang fenomenal bahwasanya pengambilan keputusan/ kebijakan desa adat sangat tergantung pada the big man (orang kuat secara ekonomi, politik, tradisi). Sehingga desa adat membentuk rejimitasi baru.
c. Respon terhadap Pluralisme (Heterogenitas)
Seringkali repson terhadap heterogenitas dilakukan dengan mengambil sikap nativisme dan diskrimianasi terhadap pendatang. Misalnya perlakukan terhadap pendatang tidak sama dengan krama nuwed (asli). Inilah yang kemudian mmebuat sebagai kalangan ingin tetap memeprtahankan konsep desa dinas.
d. Governance Desa Adat
Salah satu yang menjadi persoalan adalah transpransi dan akuntabilitas lembaga desa adat dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Akuntabilitas menjadi agenda penting karena beberapa tempat muncul protes terhadap prajuru karena dianggap tidak transparan (mengwi) dalam mengelola dana.
e. Konflik Desa Adat dengan kelompok-individu
Beberapa kasus Kesepekan (dikucilkan) terjadi akibat tidak diselesaikannya konflik antara desa adat dengan sebuah kelompok atau individu. Belum ditemukan mekanisme konflik yang memuaskan untuk menangani soal ini. Intervensi negara seringkali problematik, karena akan dibawa ke penyelasaian hukum. Hukum tetap menghasillkan kalah dan menang.
I. REKOMENDASI
Berikut ini ingin disampaikan beberapa rekomendasi sehubungan dengan hasil Need Assesment yang sudah dilakukan di Kabupaten Gianyar Propinsi Bali.
I.1. Penguatan otonomi desa adat melalui:
a. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dan desa dinas
b. Rekonseptualisasi hubungan desa adat dengan Kabupaten
c. Pengakuan Hukum dan Pengadilan Adat
d. Mekanisme penyelesaikan konflik antar desa adat melalui pembentuk lembaga supra desa adat
e. Politik Kebudayaan yang menghargai keunikan setiap desa adat (desa mawa cara) tetapi ada beberapa yang diatur sama untuk menjamin kepastian seperti masalah pendatang
I.2. Pemeberdayaan Desa Adat
a. Peningkatan kapasitas kelembagaan desa adat
b. Demokratisasi desa adat
c. Semangat pluralisme di desa adat yang tercermin di awig-awig
d. Good Governance di desa adat
e. Mekanisme penyelesaian konflik yang humanis
[1] Need Assesment Desa Adat di Bali dilaksanakan di Kabupaten Gianyar. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 19 Mei s/d. 28 Mei 2002 oleh staf IRE yakni AA.GN. Ari Dwipayana dan Krisdyatmiko.
[2] Dalam Perda no. 6 tahun 1986, pada pasal 1huruf e,
[3] Oleh Van Vollenhoven, Indonesia yang terdiri dari 250 wilayah otonom dibagi ke dalam 19 lingkungan hukum adat (adtrechtskringen), dimana Bali dan Lombok ditempatkan pada urutan ke-16 yang meliputi 9 anak lingkungan hukum; Bali, tenganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok dan Sumbawa. Namun, Pemerintahan kolonial Belanda sangat kebingungan dalam membedakn mana hukum rakyat (volkarecht) dan yang mana lembaga adat (volksistellingen) serta gebruiken (kebiasana-kebiasaan).
[4] Berdasarkan Stb. 1935 no. 102 ditambahkan pasal 3 a R.O.yang mengakui keberadaan pengadilan desa melalui perundang-undangan.. Menurut pasal 3 a Rechterlijk Organisatie (RO) seorang hakim desa (dorps rechter) menjatuhkan keputusan menurut hukum adat. Namun dalam ayat 2 pasal 3 a RO tidak mengurangi hak dari pihak yang berperkara untuk mengajukan perkaranya kepada hakim biasa. Ketentuan itu juga diperkuat oleh pasal 120 HIR dan 143 a RBg.
[5] Dinyatakan bahwa undnag-undang ini tetap mengakui adanya kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang masih hidup
[6] Sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan ketahanan nasional.
PERSOS DI SOLO
REFLEKSI PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DALAM
MOTIF BATIK DI SURAKARTA
Oleh
Sarah Rum Handayani
1. Pendahuluan
Surakarta adalah kota yang dinamis dalam perubahan sosial budaya. Kota budaya ini kaya dengan aktivitas dan karya seni budaya yang diakui oleh masyarakat internasional. Salah satu bentuk seni yang sampai saat ini masih eksis ialah seni batik. Batik adalah salah satu warisan tradisi yang saat ini terus berkembang menyesuaikan diri dengan zaman. Kegiatan batik pun masih kontekstual, khususnya di Surakarta. Dewasa ini, pemerintah berusaha menghidupkan sentra industri batik di Surakarta dengan sebutan kampung batik yang diharapkan kampung ini akan menjadi ciri khas kota Surakarta yang kota industri batik. Batik Surakarta juga mempunyai andil di dalam perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai bentuk seni, batik memang berkaitan erat dengan kondisi sosial budaya. Sebagaimana diungkapkan Janet Wolff (1981) bahwa seni merupakan produksi sosial. Di dalam produksi seni terkandung ideologi. Karya seni dalam kutub individual dan kolektif. Karena itu dengan tegas Wolff menyatakan bahwa seniman berkarya tidak dalam suasana terioslasi dari situasi sosial politik (1991:27). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembanganya berkaitan dengan kondisi sosial budaya.
Perkembangan batik sebagai karya seni juga tidak lepas dari kondisi sosial budaya yang menjadi latar belakang produksi seni. Motif-motif batik ternyata juga muncul akibat perubahan sosial budaya. Sebagai misal, motif parang muncul berkaitan dengan usaha Panembahan Senopati untuk memiliki ciri kultural tersendiri ketika ia melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Karena Panembahan Senopati banyak mendapat ilham Parangkusuma, maka terciptalah motif parang yang berasal dari kata Parangkusuma tersebut. Motif ini pun kemudian berkembang sesuai tuntutan zaman sehingga muncul motif derivasi parang seperti parang barong, parang curiga, parang menang, dan sebagainya (Sarwono, 2005). Nuansa sosial histrosi munculnya motif tersebut belum banyak dikaji dan diperhatikan para ahli.
Gambaran perubahan sosial yang tercermin dalam motif batik perlu dikaji untuk menambah pemahaman tentang motif tersebut yang pada akhirnya akan mengangkat nilai batik dan sebagai bukti proses kreatif dan penciptaan suatu karya seni untuk mendapatkan pengakuan dunia.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan batik di Surakarta. Sebagai kota batik dan penuh dengan perubahan sosial budaya yang dinamis, apakah hal itu mempengaruhi motif-motif batik yang muncul dan berkembang? Kalau demikian, bagaimanakah wujud motif-motif batik tersebut?
Selanjutnya, perubahan sosial budaya apa sajakah yang tercermin dalam motif-motif batik di Surakarta? Demikian rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan variabel motif batik kontemporer dan hubungan motif batik tersebut dengan perubahan sosial budaya yang terjadi.
Target penelitian ini ialah mendeskripsikan motif-motif batik kontemporer dan menjelaskan kemunculan motif batik tersebut dari segi ideologi, perkembangan sosial budaya.
Lokasi penelitian ini di Surakarta yang dikenal sebagai kota batik yang di dalam kota Surakarta, baik batik tradisi maupun batik kontemporer (modern) berkembang dengan baik. Hal ini didukung oleh dukungan pemerintah dengan adanya kampung batik.
Sesuai dengan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) wawancara informal (indepth interview) kepada para informan lain yang sudah disebutkan di atas; (2) observasi terlibat dan tak terlibat dilakukan terhadap peristiwa dan tingkah laku informan/sumber data; (3) dokumentasi untuk menganalisis motif-motif batik lebih detail akan digunakan teknik dokumentasi dengan cara merekam ke dalam file elektronik (foto digital) karya batik kontemporer dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (4) kajian dokumen tertulis (content analysis) ditempuh membaca dokumen tersebut serta mencatat dalam displai data hal-hal yang sesuai dengan tema penelitian, (5) kajian dokumen nontertulis (foto, rekaman, dan sebagainya) dengan diakukan dengan cara observasi simak, (6) observasi artefak dengan cara mengamati artefak-artefak yang ada seperti karya batik, dan(7) observasi peristiwa, yakni mengamati peristiwa yang berkaitan dengan batik dan penciptaannya.
Dalam penelitian ini validitas data diuji dengan menggunakan trianggulasi data, yakni peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk mendapatkan data yang sejenis (Sutopo, 1988:31) sehingga didapat pemahaman lintas data yang menyeluruh. Validitas data juga akan diperkuat dengan cara peer debriefing (lihat Nasution, 1992:117).
Model yang digunakan dalam analisis data ini mengambil model analisis interaktif (lihat Miles dan Huberman, 1993:20), yakni ketiga komponen analisis data saling berinteraksi selama proses penelitian. Analisis ini dengan demikian dilakukan di lapangan dan dicatat dalam fieldnote-fieldnote untuk selanjutnya hasilnya digunakan dalam penyusunan laporan penelitian final.
4. Hasil Penelitian
4.1. Motif KORPRI
Motif yang digunakan oleh organisasi juga mencerminkan perubahan sosial budaya yang terjadi. Motif tersebut menyuarakan perubahan yang terjadi di dalam organiasi tersebut. Hal ini tampak pada motif batik KORPRI (Korp Pegawai Republik Indonesia). Pada masa orde baru, para anggota KORPRI dan keluarganya adalah pendukung utama GOLKAR (Golongan Karya). Partai ini merupakan partai politik terbesar yang merupakan kendaraan utama ORDE BARU. Berbagai penekanan dan intimidasi diberikan kepada pegawai negeri agar memilih GOLKAR. Di antaranya pernyataan bahwa anggota KORPRI yang tidak memilih GOLKAR adalah pengkhianat karena pimpinan KORPRI sudah menyatakan setia kepada GOLKAR. Karena itu, di dalam KORPRI dikenal monoloyalitas atau setia kepada satu partai saja yaitu GOLKLAR.
Pada masa ini KORPRI memiliki baju seragam berupa motif baru berdasar putih dengan motif biru. Perhatikan motif berikut.
Motif di atas terdiri dari lung-lungan dan buketan, tetapi yang menjadi motif utama adalah bentuk lencana yang terdiri dari gambar pohon beringin, gambar rumah dan dua sayap. Di dalam Pancasila, pohon beringin merupakan simbol persatuan. Dalam gambar tersebut, selain bermakna persatuan, simbol tersebut menyiratkan bahwa KORPRI adalah pendukung GOLKAR yang utama. Gambar rumah mencerminkan gambaran organisasi atau pemerintah Indonesia tempat para pegawai negeri sipil mengabdi. Jadi, dalam hal simbol, KORPRI tampak mengambil silmbol GOLKAR yang berupa pohon beringin sebagai simbol yang paling utama. Hal ini nanti akan lebih ditegaskan dalam lencana KORPRI.
Pada tahun 1996, Indonesia mengalami masa reformasi. Terjadi suatu arus perubahan sosial politik di berbagai aspek pemerintahan. Hal yang menonjol adalah semakin pudarnya GOLKAR dalam kancah pemerintahan. Kalau pada masa ORDE BARU, hampir semua pejabat pemerintah berasal dari GOLAKR, maka pada era reformasi terjadi pergeseran. Pergeseran tampak dari munculnya pejabat dari berbagai golongan, khususnya kalangan partai. Kabinet Pemerintah Indonesia disebut Kabinet Persatuan/ Kabinet Gotong Royong di mana setiap elemen masyarakat/ partai dapat menjadi pejabat/ menteri. Era ini ditandai pula dengan adanya pemilihan kepala daerah dari kalangan umum sehingga pejabat pemerintah pun bersifat variatif. Kondisi ini kemudian muncul dalam motif batik KORPRI. Motif batik KORPRI telah menghilangkan unsur pohon beringin dan menonjolkan Pancasila sebagai asas utama bangsa Indonesia. Dari segi warna, motif batik seragam KORPRI pada masa ORDE BARU didominasi warna biru, sementara motif batik di era reformasi ini didominasi warna hijau muda dengan berbagai kemunculan warna biru, hijau, kuning) dengan gambar garuda Pancasila menjadi penekanan (inti subjek). Perhatikan motif batik seragam KORPRI berikut.
Gambar: Motif Batik Seragam KORPRI di era Reformasi
4.2. Kekayaan Alam Indonesia
Anggrek adalah bunga yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Anggrek merupakan bungan yang banyak ragamnya, namun ciri khasnya bahwa anggrek memiliki bunga kecil yang indah. Kekaguman pada anggreks ini tercermin dalam suatu motif yang diilhami oleh bunga anggrek dan motif tersebut disebut motif anggrek.
Munculnya motif anggrek ini merupakan bagian dari dinamika batik Indonesia, yakni motif-motif batik yang mengusung kekayaan budaya dan alam Indonesia. Hal ini merupakan wujud keterbukaan budaya Jawa dalam pengembangan kreasi melalui seni batik.
Controh lain pengusungan kekayaan flora fauna Indonesia ke dalam motif batik ialah munculnya motif Raflesia. Raflesia adalah nama bunga yang khas yang merupakan simbol kebanggaan masyarakat Bengkulu karena bunga ini dianggap satu-satunya bunga raksasa yang hanya ada di Indonesia.
Bunga raflesia merupakan bunga yang khas. Bunga ini berbau bangkai dan hanya muncul pada saat tertentu dan termasuk kekayaan alam Indonesia yang khas. Kekaguman terhadap bunga raflesia ini muncul pada suatu motif yang menonjolkan gambaran bunga raflesia. Meskipun bunga reflesia bukan kekayaan alami Jawa, tetapi pelukis batik ini merasakan bahwa bunga tersebut patut diabadikan dalam suatu motif khusus yang diberi nama bunga tersebut.
Gambar Motif Batik Raflesia
Kekaguman pada kekayaan alam Indonesia tampaknya menjadi salah satu trend motif batik, khususnya kekayaan alam yang terkenal. Salah satu kekayaan alam yang tidak terkenal, tetapi karena pulaunya yang terkenal, maka kekayaan alam tersebut menjadi terangkat. Hal ini tampak dalam motif pisang Bali.
Beberapa kekayaan alam memang sering dikaitkan dengan Pulau Bali seperti jeruk Bali dan salak Bali. Pulau Bali adalah pulau yang sangat terkenal. Pisang Bali muncul dalam motif batik dalam rangka menumpang ketersohoran Pulau Bali.
Gambar: Motif Pisang Bali
Kemunculan motif ini sangat berkaitan dengan nuansa religius yang diusung oleh pisang Bali. Bagi masyarakat Bali, pisang Bali merupakan komoditi yang bermakna sakral yang digunakan di dalam banten (sesaji). Karena pentingnya, maka komoditi tersebut dimunculkan dalam motif batik. Hanya saja, bagi masyarakat di luar Bali yang belum mengetahui fungsi dan makna pisang Bali, tidak dapat merasakah getaran makna religius yang dibawa oleh motif tersebut.
Indonesia juga kaya akan kekayaan alam laut. Kekayaan alam laut biasanya dimunculkan oleh batik-batik pesisiran, tetapi dewasa ini hal tersebut tidak lagi mendominasi. Di Surakarta, batik yang menonjolkan kekayaan laut di antaranya dimunculkan oleh batik colet karya Dartono. Karya Dartono ini memunculkan nuansa laut karena kain memang diperuntukkan untuk pakaian pantai (sarung pantai).
Di Surakarta, motif dengan gambar ikan menjadi cukup menonjol sejak semakin meluasnya pemakaian batik untuk berbagai keperluan. Contoh yang menonjolkan motif ikan ialah kemeja karya Bambang Slameto, S.Sos (pemilik Batik Merak Manis).
Interaksi orang Jawa dengan alam sekitarnya dapat menciptakan karya seni yang merefleksikan peristiwa alam. Salah satu bentuk karya seni tersebut berupa tarian merak yang disebut Tari Merak Ngigel yang menggambarkan burung merak yang sedang menari memamerkan keindahan bulunya. Tari ini merupakan tari tradisional yang cukup terkenal. Peristiwa ini juga tercermin dalam motif batik yang menggambarkan kekayaan fauna Jawa dengan judul motif merak ngigel sebagai berikut.
Gambar Batik Motif Merak Ngigel (Merak Menari)
Merak ngigel adalah gambaran merak yang sedang menarik lawan jenis. Setelah lawan jenis tertarik, maka terjadilah perkawinan. Dalam bahasa Jawa, berpadunya cinta disebut karonsih (bercampurnya cinta). Karonsih juga menjadi salah satu nama tarian yang biasanya dipentaskan di tengah-tengah hajat perkawinan. Dalam motif batik, muncul pula motif karonsih yang tidak lain adalah penggambaran dua ekor merak yang sedang bercinta seperti gambar berikut.
Gambar Motif: Karonsih (Dua ekor merak bercinta).
Kekayaan alam juga tergambar dakam bentuk sumber-sumber makanan dan pakaian. Lazimnya istilah tersebut disebut sandang pangan. Sandang pangan merupakan ikon kemakmuran yang pada umumnya digambarkan dalam bentukp adi dan kapas. Di samping sandang pangan, kesehatan juga merupakan hal penting. Dalam istilah Jawa, konsep tersebut disebut dengan:“murah sandang pangan, seger kewarasan” artinya sandang dan pangan murah serta tubuh sehat walafiat.
Konsep sandang pangan juga muncul di dalam motif batik. Hanya saja, tampaknya desainer memahami konsep sandang pangan dengan konsep yang lebih luas, yakni bukan hanya padi dan kapas. Dalam motif sandang pangan yang digambarkan adalah aneka sumber sandang dan pangan seperti gambar berikut.
Gambar: Motif sandang pangan
4.3. Unsur Mitologi Jawa a dalam Motif Batik
Cerita-cerita mitologis juga masih sering tercermin dalam motif batik sebagai sumber inspirasi. Cerita mitologis Jawa tentang ular besar (naga) yang dalam cerita Angling Darma dapat tata jalma (berbisik) muncul dalam sebuah motif batik model buketan yang diberi nama “buketan naga bisikan latar gabar sinawur” yang artinya motif buket berbentuk naga yang sedang berbisik-bisik dengan latar belakang gabar yang disebar. Ide naga tersebut juga terilhami dari berbagai verita rakyat sepertik isah Nagasasra sabuk inten dan ornamen naga simbol kraton Yogyakarta yang diberi nama Drwi Naga Rasa Tunggal (sengkalan). Motif ini pasti diilhami dari mitos-mitos
Gambar:buketan naga bisikan
Motif yang menggambarkan kisah mitologis adalah motif semen gajah birawa. Tidak jelas mengapa motif ini diberi nama gajah birawa. Yang jelas, motif ini memang mengandung unsur semen (pucuk muda) dan gajah. Hanya saja, tambahan kata birawa mungkin menjadi membingungkan.. Bhirawa bermakna dewa Siwa sehingga gajah bhirawa dapat dimaknai gajah dewa Siwa. Sebutan birawa juga menunjukkan kemarahan (sifat Siwa sebagai dewa perusak). Namun, apa pun pemahamannya, munculnya motif batik ini telah memperkaya khasanah motif batik Indonesia.
5. Kesimpulan dan Saran
Surakarta adalah kota batik. Beberapa di wilayah Surakarta dianggap sebagai kampung batik. Perubahan sosial budaya yang terjadi dewasa ini mempengaruhi perkembangan desain motif batik. Perubahan tersebut terjadi akibat tuntutan pasar dan perkembangan masyarakat yang telah menggeser kain batik sebagai bagian tradisi dan upacara yang mengandung nilai filosofis menjadi kain keseharian yang bebas dipakai untuk keperluan apa saja.
Beberapa motif mengalami perubahan akibat perkembangan filosofi dan politik, sosial budaya. Hal ini tampak pada motif seragam KORPRI yang dahulu didominasi gambar beringin yang identik dengan GOLKAR. Pada era reformasi, KORPRI tidak lagim enjadi underbow GOLKAR sehingga simbol pun berubah menjadi motif KORPRI baru yang menekankan pada gambaran Pancasila.
Perkembangan tersebut juga tercermin dari teknik pembuatan kain batik yang menggunakan teknik-teknik serta memadukan teknik tradisi dengan teknik modern seperti penggunaan teknik colet, airbrush, printing, cap, dan sebagainya.
Pada hakikatnya, motif batik juga muncul akibat peristiwa sosial budaya dan memiliki interaksi dengan jenis seni lain seperti tari-tarian. Motif juga memunculkan kekaguman seniman terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia. Artinya, motif tidak lagi terbatas pada tema-tema Jawa, melainkan sudah memasuki tema nasional seperti motif bunga raflesia, bahkan juga tema internasional seperti motif leopard (macan tutul Afrika).
Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah sulitnya untuk mewawancarai para pengusaha batik karena kesibukan mereka. Dari empat perusahaan batik tersebesar di Surakarta, hanya dari pihak Danar Hadi yang berhasil diwawancarai.
Sementara itu, untuk mendapatkan foto-foto desain motif batik lewat produk. Yang diizinkan hanya mencatat. Sementara itu, para desainer pada umumnya enggan diwawancarai karena aturan perusahaan/ ketaatan pada pimpinan. Namun, untuk proses produksi diizinkan untuk mengambil foto-foto kegiatan.
Penelitian ini belum dapat menggambarkan secara utuh perkembangan motif batik di Surakarta. Karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan dana yang lebih besar, scop yang lebih luas, dan waktu yang lebih leluasa (multi years).
DAFTAR PUSTAKA
Doellah, H. Santosa. 2002. Batik: The Impact of Time and Enviroment. Surakarta: Danarhadi.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, Sarah Rum. 2002. Makna Simbolis Pola Sidomukti dalam Perkawinan Adat Jawa di Surakarta. Surakarta: Fak. Sastra dan Seni Rupa, UNS.
Hitchcock, Michael. 1991. Indonesia Textiles. Findon: Periplus Edition.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Mataya. 2006. Festival Seribu Anak Membatik. Surakarta.
Maxwell, Robyn. 1990. Textiles of Souteast Asia: Tradition, Trade and Transformation.. Singapore: Periplus.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus: Penerbit Menara
Sarwono. 2004. “Pendekatan Hermeneutik Simbolisme Motif Parang”. dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Sarwono. 2005. “Hermenutik Simbolisme Motif Parang dalam Busana wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta”. dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Soedarso SP. 1986. “Benturan Nilai-nilai Tradisional danModern dalam Kesenian, Khususnya Seni Rupa yang Ada di Jawa” dalam, Soedarsono dkk. Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses Pembentuan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usawatun. 2005. “Dinamika Batik Gedhog Tuban”. Jakarta: Profil Wanita.
Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: St. Martin's Press.
MOTIF BATIK DI SURAKARTA
Oleh
Sarah Rum Handayani
1. Pendahuluan
Surakarta adalah kota yang dinamis dalam perubahan sosial budaya. Kota budaya ini kaya dengan aktivitas dan karya seni budaya yang diakui oleh masyarakat internasional. Salah satu bentuk seni yang sampai saat ini masih eksis ialah seni batik. Batik adalah salah satu warisan tradisi yang saat ini terus berkembang menyesuaikan diri dengan zaman. Kegiatan batik pun masih kontekstual, khususnya di Surakarta. Dewasa ini, pemerintah berusaha menghidupkan sentra industri batik di Surakarta dengan sebutan kampung batik yang diharapkan kampung ini akan menjadi ciri khas kota Surakarta yang kota industri batik. Batik Surakarta juga mempunyai andil di dalam perjuangan bangsa Indonesia.
Sebagai bentuk seni, batik memang berkaitan erat dengan kondisi sosial budaya. Sebagaimana diungkapkan Janet Wolff (1981) bahwa seni merupakan produksi sosial. Di dalam produksi seni terkandung ideologi. Karya seni dalam kutub individual dan kolektif. Karena itu dengan tegas Wolff menyatakan bahwa seniman berkarya tidak dalam suasana terioslasi dari situasi sosial politik (1991:27). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuh dan berkembanganya berkaitan dengan kondisi sosial budaya.
Perkembangan batik sebagai karya seni juga tidak lepas dari kondisi sosial budaya yang menjadi latar belakang produksi seni. Motif-motif batik ternyata juga muncul akibat perubahan sosial budaya. Sebagai misal, motif parang muncul berkaitan dengan usaha Panembahan Senopati untuk memiliki ciri kultural tersendiri ketika ia melepaskan diri dari kekuasaan Pajang. Karena Panembahan Senopati banyak mendapat ilham Parangkusuma, maka terciptalah motif parang yang berasal dari kata Parangkusuma tersebut. Motif ini pun kemudian berkembang sesuai tuntutan zaman sehingga muncul motif derivasi parang seperti parang barong, parang curiga, parang menang, dan sebagainya (Sarwono, 2005). Nuansa sosial histrosi munculnya motif tersebut belum banyak dikaji dan diperhatikan para ahli.
Gambaran perubahan sosial yang tercermin dalam motif batik perlu dikaji untuk menambah pemahaman tentang motif tersebut yang pada akhirnya akan mengangkat nilai batik dan sebagai bukti proses kreatif dan penciptaan suatu karya seni untuk mendapatkan pengakuan dunia.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan batik di Surakarta. Sebagai kota batik dan penuh dengan perubahan sosial budaya yang dinamis, apakah hal itu mempengaruhi motif-motif batik yang muncul dan berkembang? Kalau demikian, bagaimanakah wujud motif-motif batik tersebut?
Selanjutnya, perubahan sosial budaya apa sajakah yang tercermin dalam motif-motif batik di Surakarta? Demikian rumusan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan variabel motif batik kontemporer dan hubungan motif batik tersebut dengan perubahan sosial budaya yang terjadi.
Target penelitian ini ialah mendeskripsikan motif-motif batik kontemporer dan menjelaskan kemunculan motif batik tersebut dari segi ideologi, perkembangan sosial budaya.
Lokasi penelitian ini di Surakarta yang dikenal sebagai kota batik yang di dalam kota Surakarta, baik batik tradisi maupun batik kontemporer (modern) berkembang dengan baik. Hal ini didukung oleh dukungan pemerintah dengan adanya kampung batik.
Sesuai dengan jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) wawancara informal (indepth interview) kepada para informan lain yang sudah disebutkan di atas; (2) observasi terlibat dan tak terlibat dilakukan terhadap peristiwa dan tingkah laku informan/sumber data; (3) dokumentasi untuk menganalisis motif-motif batik lebih detail akan digunakan teknik dokumentasi dengan cara merekam ke dalam file elektronik (foto digital) karya batik kontemporer dan hal-hal yang berkaitan dengannya; (4) kajian dokumen tertulis (content analysis) ditempuh membaca dokumen tersebut serta mencatat dalam displai data hal-hal yang sesuai dengan tema penelitian, (5) kajian dokumen nontertulis (foto, rekaman, dan sebagainya) dengan diakukan dengan cara observasi simak, (6) observasi artefak dengan cara mengamati artefak-artefak yang ada seperti karya batik, dan(7) observasi peristiwa, yakni mengamati peristiwa yang berkaitan dengan batik dan penciptaannya.
Dalam penelitian ini validitas data diuji dengan menggunakan trianggulasi data, yakni peneliti menggunakan beberapa sumber data untuk mendapatkan data yang sejenis (Sutopo, 1988:31) sehingga didapat pemahaman lintas data yang menyeluruh. Validitas data juga akan diperkuat dengan cara peer debriefing (lihat Nasution, 1992:117).
Model yang digunakan dalam analisis data ini mengambil model analisis interaktif (lihat Miles dan Huberman, 1993:20), yakni ketiga komponen analisis data saling berinteraksi selama proses penelitian. Analisis ini dengan demikian dilakukan di lapangan dan dicatat dalam fieldnote-fieldnote untuk selanjutnya hasilnya digunakan dalam penyusunan laporan penelitian final.
4. Hasil Penelitian
4.1. Motif KORPRI
Motif yang digunakan oleh organisasi juga mencerminkan perubahan sosial budaya yang terjadi. Motif tersebut menyuarakan perubahan yang terjadi di dalam organiasi tersebut. Hal ini tampak pada motif batik KORPRI (Korp Pegawai Republik Indonesia). Pada masa orde baru, para anggota KORPRI dan keluarganya adalah pendukung utama GOLKAR (Golongan Karya). Partai ini merupakan partai politik terbesar yang merupakan kendaraan utama ORDE BARU. Berbagai penekanan dan intimidasi diberikan kepada pegawai negeri agar memilih GOLKAR. Di antaranya pernyataan bahwa anggota KORPRI yang tidak memilih GOLKAR adalah pengkhianat karena pimpinan KORPRI sudah menyatakan setia kepada GOLKAR. Karena itu, di dalam KORPRI dikenal monoloyalitas atau setia kepada satu partai saja yaitu GOLKLAR.
Pada masa ini KORPRI memiliki baju seragam berupa motif baru berdasar putih dengan motif biru. Perhatikan motif berikut.
Motif di atas terdiri dari lung-lungan dan buketan, tetapi yang menjadi motif utama adalah bentuk lencana yang terdiri dari gambar pohon beringin, gambar rumah dan dua sayap. Di dalam Pancasila, pohon beringin merupakan simbol persatuan. Dalam gambar tersebut, selain bermakna persatuan, simbol tersebut menyiratkan bahwa KORPRI adalah pendukung GOLKAR yang utama. Gambar rumah mencerminkan gambaran organisasi atau pemerintah Indonesia tempat para pegawai negeri sipil mengabdi. Jadi, dalam hal simbol, KORPRI tampak mengambil silmbol GOLKAR yang berupa pohon beringin sebagai simbol yang paling utama. Hal ini nanti akan lebih ditegaskan dalam lencana KORPRI.
Pada tahun 1996, Indonesia mengalami masa reformasi. Terjadi suatu arus perubahan sosial politik di berbagai aspek pemerintahan. Hal yang menonjol adalah semakin pudarnya GOLKAR dalam kancah pemerintahan. Kalau pada masa ORDE BARU, hampir semua pejabat pemerintah berasal dari GOLAKR, maka pada era reformasi terjadi pergeseran. Pergeseran tampak dari munculnya pejabat dari berbagai golongan, khususnya kalangan partai. Kabinet Pemerintah Indonesia disebut Kabinet Persatuan/ Kabinet Gotong Royong di mana setiap elemen masyarakat/ partai dapat menjadi pejabat/ menteri. Era ini ditandai pula dengan adanya pemilihan kepala daerah dari kalangan umum sehingga pejabat pemerintah pun bersifat variatif. Kondisi ini kemudian muncul dalam motif batik KORPRI. Motif batik KORPRI telah menghilangkan unsur pohon beringin dan menonjolkan Pancasila sebagai asas utama bangsa Indonesia. Dari segi warna, motif batik seragam KORPRI pada masa ORDE BARU didominasi warna biru, sementara motif batik di era reformasi ini didominasi warna hijau muda dengan berbagai kemunculan warna biru, hijau, kuning) dengan gambar garuda Pancasila menjadi penekanan (inti subjek). Perhatikan motif batik seragam KORPRI berikut.
Gambar: Motif Batik Seragam KORPRI di era Reformasi
4.2. Kekayaan Alam Indonesia
Anggrek adalah bunga yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Anggrek merupakan bungan yang banyak ragamnya, namun ciri khasnya bahwa anggrek memiliki bunga kecil yang indah. Kekaguman pada anggreks ini tercermin dalam suatu motif yang diilhami oleh bunga anggrek dan motif tersebut disebut motif anggrek.
Munculnya motif anggrek ini merupakan bagian dari dinamika batik Indonesia, yakni motif-motif batik yang mengusung kekayaan budaya dan alam Indonesia. Hal ini merupakan wujud keterbukaan budaya Jawa dalam pengembangan kreasi melalui seni batik.
Controh lain pengusungan kekayaan flora fauna Indonesia ke dalam motif batik ialah munculnya motif Raflesia. Raflesia adalah nama bunga yang khas yang merupakan simbol kebanggaan masyarakat Bengkulu karena bunga ini dianggap satu-satunya bunga raksasa yang hanya ada di Indonesia.
Bunga raflesia merupakan bunga yang khas. Bunga ini berbau bangkai dan hanya muncul pada saat tertentu dan termasuk kekayaan alam Indonesia yang khas. Kekaguman terhadap bunga raflesia ini muncul pada suatu motif yang menonjolkan gambaran bunga raflesia. Meskipun bunga reflesia bukan kekayaan alami Jawa, tetapi pelukis batik ini merasakan bahwa bunga tersebut patut diabadikan dalam suatu motif khusus yang diberi nama bunga tersebut.
Gambar Motif Batik Raflesia
Kekaguman pada kekayaan alam Indonesia tampaknya menjadi salah satu trend motif batik, khususnya kekayaan alam yang terkenal. Salah satu kekayaan alam yang tidak terkenal, tetapi karena pulaunya yang terkenal, maka kekayaan alam tersebut menjadi terangkat. Hal ini tampak dalam motif pisang Bali.
Beberapa kekayaan alam memang sering dikaitkan dengan Pulau Bali seperti jeruk Bali dan salak Bali. Pulau Bali adalah pulau yang sangat terkenal. Pisang Bali muncul dalam motif batik dalam rangka menumpang ketersohoran Pulau Bali.
Gambar: Motif Pisang Bali
Kemunculan motif ini sangat berkaitan dengan nuansa religius yang diusung oleh pisang Bali. Bagi masyarakat Bali, pisang Bali merupakan komoditi yang bermakna sakral yang digunakan di dalam banten (sesaji). Karena pentingnya, maka komoditi tersebut dimunculkan dalam motif batik. Hanya saja, bagi masyarakat di luar Bali yang belum mengetahui fungsi dan makna pisang Bali, tidak dapat merasakah getaran makna religius yang dibawa oleh motif tersebut.
Indonesia juga kaya akan kekayaan alam laut. Kekayaan alam laut biasanya dimunculkan oleh batik-batik pesisiran, tetapi dewasa ini hal tersebut tidak lagi mendominasi. Di Surakarta, batik yang menonjolkan kekayaan laut di antaranya dimunculkan oleh batik colet karya Dartono. Karya Dartono ini memunculkan nuansa laut karena kain memang diperuntukkan untuk pakaian pantai (sarung pantai).
Di Surakarta, motif dengan gambar ikan menjadi cukup menonjol sejak semakin meluasnya pemakaian batik untuk berbagai keperluan. Contoh yang menonjolkan motif ikan ialah kemeja karya Bambang Slameto, S.Sos (pemilik Batik Merak Manis).
Interaksi orang Jawa dengan alam sekitarnya dapat menciptakan karya seni yang merefleksikan peristiwa alam. Salah satu bentuk karya seni tersebut berupa tarian merak yang disebut Tari Merak Ngigel yang menggambarkan burung merak yang sedang menari memamerkan keindahan bulunya. Tari ini merupakan tari tradisional yang cukup terkenal. Peristiwa ini juga tercermin dalam motif batik yang menggambarkan kekayaan fauna Jawa dengan judul motif merak ngigel sebagai berikut.
Gambar Batik Motif Merak Ngigel (Merak Menari)
Merak ngigel adalah gambaran merak yang sedang menarik lawan jenis. Setelah lawan jenis tertarik, maka terjadilah perkawinan. Dalam bahasa Jawa, berpadunya cinta disebut karonsih (bercampurnya cinta). Karonsih juga menjadi salah satu nama tarian yang biasanya dipentaskan di tengah-tengah hajat perkawinan. Dalam motif batik, muncul pula motif karonsih yang tidak lain adalah penggambaran dua ekor merak yang sedang bercinta seperti gambar berikut.
Gambar Motif: Karonsih (Dua ekor merak bercinta).
Kekayaan alam juga tergambar dakam bentuk sumber-sumber makanan dan pakaian. Lazimnya istilah tersebut disebut sandang pangan. Sandang pangan merupakan ikon kemakmuran yang pada umumnya digambarkan dalam bentukp adi dan kapas. Di samping sandang pangan, kesehatan juga merupakan hal penting. Dalam istilah Jawa, konsep tersebut disebut dengan:“murah sandang pangan, seger kewarasan” artinya sandang dan pangan murah serta tubuh sehat walafiat.
Konsep sandang pangan juga muncul di dalam motif batik. Hanya saja, tampaknya desainer memahami konsep sandang pangan dengan konsep yang lebih luas, yakni bukan hanya padi dan kapas. Dalam motif sandang pangan yang digambarkan adalah aneka sumber sandang dan pangan seperti gambar berikut.
Gambar: Motif sandang pangan
4.3. Unsur Mitologi Jawa a dalam Motif Batik
Cerita-cerita mitologis juga masih sering tercermin dalam motif batik sebagai sumber inspirasi. Cerita mitologis Jawa tentang ular besar (naga) yang dalam cerita Angling Darma dapat tata jalma (berbisik) muncul dalam sebuah motif batik model buketan yang diberi nama “buketan naga bisikan latar gabar sinawur” yang artinya motif buket berbentuk naga yang sedang berbisik-bisik dengan latar belakang gabar yang disebar. Ide naga tersebut juga terilhami dari berbagai verita rakyat sepertik isah Nagasasra sabuk inten dan ornamen naga simbol kraton Yogyakarta yang diberi nama Drwi Naga Rasa Tunggal (sengkalan). Motif ini pasti diilhami dari mitos-mitos
Gambar:buketan naga bisikan
Motif yang menggambarkan kisah mitologis adalah motif semen gajah birawa. Tidak jelas mengapa motif ini diberi nama gajah birawa. Yang jelas, motif ini memang mengandung unsur semen (pucuk muda) dan gajah. Hanya saja, tambahan kata birawa mungkin menjadi membingungkan.. Bhirawa bermakna dewa Siwa sehingga gajah bhirawa dapat dimaknai gajah dewa Siwa. Sebutan birawa juga menunjukkan kemarahan (sifat Siwa sebagai dewa perusak). Namun, apa pun pemahamannya, munculnya motif batik ini telah memperkaya khasanah motif batik Indonesia.
5. Kesimpulan dan Saran
Surakarta adalah kota batik. Beberapa di wilayah Surakarta dianggap sebagai kampung batik. Perubahan sosial budaya yang terjadi dewasa ini mempengaruhi perkembangan desain motif batik. Perubahan tersebut terjadi akibat tuntutan pasar dan perkembangan masyarakat yang telah menggeser kain batik sebagai bagian tradisi dan upacara yang mengandung nilai filosofis menjadi kain keseharian yang bebas dipakai untuk keperluan apa saja.
Beberapa motif mengalami perubahan akibat perkembangan filosofi dan politik, sosial budaya. Hal ini tampak pada motif seragam KORPRI yang dahulu didominasi gambar beringin yang identik dengan GOLKAR. Pada era reformasi, KORPRI tidak lagim enjadi underbow GOLKAR sehingga simbol pun berubah menjadi motif KORPRI baru yang menekankan pada gambaran Pancasila.
Perkembangan tersebut juga tercermin dari teknik pembuatan kain batik yang menggunakan teknik-teknik serta memadukan teknik tradisi dengan teknik modern seperti penggunaan teknik colet, airbrush, printing, cap, dan sebagainya.
Pada hakikatnya, motif batik juga muncul akibat peristiwa sosial budaya dan memiliki interaksi dengan jenis seni lain seperti tari-tarian. Motif juga memunculkan kekaguman seniman terhadap kekayaan alam dan budaya Indonesia. Artinya, motif tidak lagi terbatas pada tema-tema Jawa, melainkan sudah memasuki tema nasional seperti motif bunga raflesia, bahkan juga tema internasional seperti motif leopard (macan tutul Afrika).
Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah sulitnya untuk mewawancarai para pengusaha batik karena kesibukan mereka. Dari empat perusahaan batik tersebesar di Surakarta, hanya dari pihak Danar Hadi yang berhasil diwawancarai.
Sementara itu, untuk mendapatkan foto-foto desain motif batik lewat produk. Yang diizinkan hanya mencatat. Sementara itu, para desainer pada umumnya enggan diwawancarai karena aturan perusahaan/ ketaatan pada pimpinan. Namun, untuk proses produksi diizinkan untuk mengambil foto-foto kegiatan.
Penelitian ini belum dapat menggambarkan secara utuh perkembangan motif batik di Surakarta. Karena itu, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan dana yang lebih besar, scop yang lebih luas, dan waktu yang lebih leluasa (multi years).
DAFTAR PUSTAKA
Doellah, H. Santosa. 2002. Batik: The Impact of Time and Enviroment. Surakarta: Danarhadi.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Handayani, Sarah Rum. 2002. Makna Simbolis Pola Sidomukti dalam Perkawinan Adat Jawa di Surakarta. Surakarta: Fak. Sastra dan Seni Rupa, UNS.
Hitchcock, Michael. 1991. Indonesia Textiles. Findon: Periplus Edition.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia : Continuities and Change. Ithaca, New York: Cornell University Press.
Mataya. 2006. Festival Seribu Anak Membatik. Surakarta.
Maxwell, Robyn. 1990. Textiles of Souteast Asia: Tradition, Trade and Transformation.. Singapore: Periplus.
Salam, Solichin. 1960. Sekitar Walisanga. Kudus: Penerbit Menara
Sarwono. 2004. “Pendekatan Hermeneutik Simbolisme Motif Parang”. dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Sarwono. 2005. “Hermenutik Simbolisme Motif Parang dalam Busana wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta”. dalam Etnografi: Jurnal Penelitian Budaya Etnik. No:04 Vol. 05 Juni 2004.
Soedarso SP. 1986. “Benturan Nilai-nilai Tradisional danModern dalam Kesenian, Khususnya Seni Rupa yang Ada di Jawa” dalam, Soedarsono dkk. Pengaruh India, Islam, dan Barat dalam Proses Pembentuan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Usawatun. 2005. “Dinamika Batik Gedhog Tuban”. Jakarta: Profil Wanita.
Wolff, Janet. 1981. The Social Production of Art. New York: St. Martin's Press.
Modernisasi
PERILAKU MASYARAKAT DALAM PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA DI ERA GLOBAL
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan perubahan yang normal. Pengaruhnya tersebar secara cepat ke dalam kehidupan masyarakat. Bahkan perubahan yang terjadi di suatu tempat di belahan bumi satu bisa memengaruhi tempat di belahan bumi yang lain. Perubahan yang terjadi akan semakin berkembang seiring berkembangnya kehidupan masyarakat di era modernisasi dan globalisasi ini. Perubahan itulah yang memengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan. Gambar di atas merupakan contoh modernisasi di bidang transportasi, khususnya transportasi darat.
A Modernisasi dan Globalisasi
Di era modernisasi dan globalisasi bangsa-bangsa di dunia tidak dapat menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Pergaulan itu membawa pengaruh bagi bangsa yang berinteraksi.
1. Pengertian Modernisasi
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut.
a. Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.
b. Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar) Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.
a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
2. Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Khususnya, globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi dunia. Ada pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Globalisasi terjadi karena faktor-faktor nilai budaya luar, seperti:
a. selalu meningkatkan pengetahuan; f. etos kerja;
b. patuh hukum; g. kemampuan memprediksi;
c. kemandirian; h. efisiensi dan produktivitas;
d. keterbukaan; h. keberanian bersaing; dan
e. rasionalisasi; i. manajemen resiko.
Globalisasi terjadi melalui berbagai saluran, di antaranya:
a. lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan;
b. lembaga keagamaan;
c. indutri internasional dan lembaga perdagangan;
d. wisata mancanegara;
e. saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional;
f. lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional; dan
g. lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler.
Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi, seperti generasi muda, penduduk dengan status sosial yang tinggi, dan masyarakat kota. Namun, ada pula masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolak globalisasi seperti masyarakat di daerah terpencil, generasi tua yang kehidupannya stagnan, dan masyarakat yang belum siap baik fisik maupun mental. Unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Teknologi yang rumit dan mahal.
b. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi.
c. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
Modernisasi dan globalisasi membawa dampak positif ataupun negatif terhadap perubahan Sosial dan budaya suatu masyarakat.Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
B Dampak Modernisasi dan Globalisasi terhadap Perubahan Sosial dan Budaya
1. Dampak Positif
Dampak positif modernisasi dan globalisasi tersebut sebagai berikut.
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.
C Respons Masyarakat terhadap Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat, ada masyarakat yang dapat menerima dan ada yang tidak dapat menerima. Masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan biasanya masih memiliki pola pikir yang tradisional. Pola pikir masyarakat yang tradisional mengandung unsur-unsur dibawah ini:
1. bersifat sederhana,
2. memiliki daya guna dan produktivitas rendah,
3. bersifat tetap atau monoton,
4. memiliki sifat irasional, yaitu tidak didasarkan pada pikiran tertentu.
Sedangkan perilaku masyarakat yang tidak bisa menerima perubahan sosial budaya, di antaranya sebagai berikut.
1. Perilaku masyarakat yang bersifat tertutup atau kurang membuka diri untuk berhubungan dengan masyarakat lain;
2. Masih memegang teguh tradisi yang sudah ada;
3. Takut akan terjadi kegoyahan dalam susunan/struktur masyarakat, jika terjadi integrasi kebudayaan;
4. Berpegang pada ideologinya dan beranggapan sesuatu yang baru bertentangan dengan idielogi masyarakat yang sudah ada
Masyarakat tradisional cenderung sulit menerima budaya asing yang masuk ke lingkungannya, namun ada juga yang mudah menerima budaya asing dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan unsur budaya asing tersebut membawa kemudahan bagi kehidupannya. Pada umumnya, unsur budaya yang membawa perubahan sosial budaya dan mudah diterima masyarakat adalah, jika:
1. unsur kebudayaan tersebut membawa manfaat yang besar,
2. peralatan yang mudah dipakai dan memiliki manfaat,
3. unsur kebudayaan yang mudah menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur tersebut.
Unsur budaya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat adalah:
1. unsur kebudayaan yang menyangkut sistem kepercayaan,
2. unsur kebudayaan yang dipelajari taraf pertama proses sosialisasi.
Sebaliknya, masyarakat modern yang memiliki pola pikir yang berbeda. Unsur yang terkandung dalam pola pikir masyarakat modern adalah:
1. bersifat dinamis atau selalu berubah mengikuti perkembangan zaman,
2. berdasarkan akal pikiran manusia dan senantiasa mengembangkan efisiensi dan efektivitas, serta
3. tidak mengandalkan atau mengutamakan kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat merupakan perubahan yang normal. Pengaruhnya tersebar secara cepat ke dalam kehidupan masyarakat. Bahkan perubahan yang terjadi di suatu tempat di belahan bumi satu bisa memengaruhi tempat di belahan bumi yang lain. Perubahan yang terjadi akan semakin berkembang seiring berkembangnya kehidupan masyarakat di era modernisasi dan globalisasi ini. Perubahan itulah yang memengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan. Gambar di atas merupakan contoh modernisasi di bidang transportasi, khususnya transportasi darat.
A Modernisasi dan Globalisasi
Di era modernisasi dan globalisasi bangsa-bangsa di dunia tidak dapat menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Pergaulan itu membawa pengaruh bagi bangsa yang berinteraksi.
1. Pengertian Modernisasi
Modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern. Pengertian modernisasi berdasar pendapat para ahli adalah sebagai berikut.
a. Widjojo Nitisastro, modernisasi adalah suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pramodern dalam arti teknologi serta organisasi sosial, ke arah pola-pola ekonomis dan politis.
b. Soerjono Soekanto, modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. (dalam buku Sosiologi: suatu pengantar) Dengan dasar pengertian di atas maka secara garis besar istilah modern mencakup pengertian sebagai berikut.
a. Modern berarti berkemajuan yang rasional dalam segala bidang dan meningkatnya tarat penghidupan masyarakat secara menyeluruh dan merata.
b. Modern berarti berkemanusiaan dan tinggi nilai peradabannya dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.
Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa sebuah modernisasi memiliki syarat-syarat tertentu, yaitu sebagai berikut.
a. Cara berpikir yang ilmiah yang berlembaga dalam kelas penguasa ataupun masyarakat.
b. Sistem administrasi negara yang baik, yang benar-benar mewujudkan birokrasi.
c. Adanya sistem pengumpulan data yang baik dan teratur yang terpusat pada suatu lembaga atau badan tertentu.
d. Penciptaan iklim yang menyenangkan dan masyarakat terhadap modernisasi dengan cara penggunaan alat-alat komunikasi massa.
e. Tingkat organisasi yang tinggi yang di satu pihak berarti disiplin, sedangkan di lain pihak berarti pengurangan kemerdekaan.
f. Sentralisasi wewenang dalam pelaksanaan perencanaan sosial.
2. Pengertian Globalisasi
Globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik. Khususnya, globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi dunia. Ada pula yang mendefinisikan globalisasi sebagai hilangnya batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Globalisasi terjadi karena faktor-faktor nilai budaya luar, seperti:
a. selalu meningkatkan pengetahuan; f. etos kerja;
b. patuh hukum; g. kemampuan memprediksi;
c. kemandirian; h. efisiensi dan produktivitas;
d. keterbukaan; h. keberanian bersaing; dan
e. rasionalisasi; i. manajemen resiko.
Globalisasi terjadi melalui berbagai saluran, di antaranya:
a. lembaga pendidikan dan ilmu pengetahuan;
b. lembaga keagamaan;
c. indutri internasional dan lembaga perdagangan;
d. wisata mancanegara;
e. saluran komunikasi dan telekomunikasi internasional;
f. lembaga internasional yang mengatur peraturan internasional; dan
g. lembaga kenegaraan seperti hubungan diplomatik dan konsuler.
Globalisasi berpengaruh pada hampir semua aspek kehidupan masyarakat. Ada masyarakat yang dapat menerima adanya globalisasi, seperti generasi muda, penduduk dengan status sosial yang tinggi, dan masyarakat kota. Namun, ada pula masyarakat yang sulit menerima atau bahkan menolak globalisasi seperti masyarakat di daerah terpencil, generasi tua yang kehidupannya stagnan, dan masyarakat yang belum siap baik fisik maupun mental. Unsur globalisasi yang sukar diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Teknologi yang rumit dan mahal.
b. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi.
c. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
Modernisasi dan globalisasi membawa dampak positif ataupun negatif terhadap perubahan Sosial dan budaya suatu masyarakat.Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat adalah sebagai berikut.
a. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
b. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
c. Pendidikan formal di sekolah.
B Dampak Modernisasi dan Globalisasi terhadap Perubahan Sosial dan Budaya
1. Dampak Positif
Dampak positif modernisasi dan globalisasi tersebut sebagai berikut.
a. Perubahan Tata Nilai dan Sikap
Adanya modernisasi dan globalisasi dalam budaya menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional.
b. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi masyarakat menjadi lebih mudah dalam beraktivitas dan mendorong untuk berpikir lebih maju.
c. Tingkat Kehidupan yang lebih Baik
Dibukanya industri yang memproduksi alat-alat komunikasi dan transportasi yang canggih merupakan salah satu usaha mengurangi penggangguran dan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Dampak Negatif
Dampak negatif modernisasi dan globalisasi adalah sebagai berikut.
a. Pola Hidup Konsumtif
Perkembangan industri yang pesat membuat penyediaan barang kebutuhan masyarakat melimpah. Dengan begitu masyarakat mudah tertarik untuk mengonsumsi barang dengan banyak pilihan yang ada.
b. Sikap Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam beraktivitasnya. Kadang mereka lupa bahwa mereka adalah makhluk sosial.
c. Gaya Hidup Kebarat-baratan
Tidak semua budaya Barat baik dan cocok diterapkan di Indonesia. Budaya negatif yang mulai menggeser budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas remaja, dan lain-lain.
d. Kesenjangan Sosial
Apabila dalam suatu komunitas masyarakat hanya ada beberapa individu yang dapat mengikuti arus modernisasi dan globalisasi maka akan memperdalam jurang pemisah antara individu dengan individu lain yang stagnan. Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial.
C Respons Masyarakat terhadap Perubahan Sosial Budaya
Perubahan sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat, ada masyarakat yang dapat menerima dan ada yang tidak dapat menerima. Masyarakat yang tidak dapat menerima perubahan biasanya masih memiliki pola pikir yang tradisional. Pola pikir masyarakat yang tradisional mengandung unsur-unsur dibawah ini:
1. bersifat sederhana,
2. memiliki daya guna dan produktivitas rendah,
3. bersifat tetap atau monoton,
4. memiliki sifat irasional, yaitu tidak didasarkan pada pikiran tertentu.
Sedangkan perilaku masyarakat yang tidak bisa menerima perubahan sosial budaya, di antaranya sebagai berikut.
1. Perilaku masyarakat yang bersifat tertutup atau kurang membuka diri untuk berhubungan dengan masyarakat lain;
2. Masih memegang teguh tradisi yang sudah ada;
3. Takut akan terjadi kegoyahan dalam susunan/struktur masyarakat, jika terjadi integrasi kebudayaan;
4. Berpegang pada ideologinya dan beranggapan sesuatu yang baru bertentangan dengan idielogi masyarakat yang sudah ada
Masyarakat tradisional cenderung sulit menerima budaya asing yang masuk ke lingkungannya, namun ada juga yang mudah menerima budaya asing dalam kehidupannya. Hal ini disebabkan unsur budaya asing tersebut membawa kemudahan bagi kehidupannya. Pada umumnya, unsur budaya yang membawa perubahan sosial budaya dan mudah diterima masyarakat adalah, jika:
1. unsur kebudayaan tersebut membawa manfaat yang besar,
2. peralatan yang mudah dipakai dan memiliki manfaat,
3. unsur kebudayaan yang mudah menyesuaikan dengan keadaan masyarakat yang menerima unsur tersebut.
Unsur budaya yang tidak dapat diterima oleh masyarakat adalah:
1. unsur kebudayaan yang menyangkut sistem kepercayaan,
2. unsur kebudayaan yang dipelajari taraf pertama proses sosialisasi.
Sebaliknya, masyarakat modern yang memiliki pola pikir yang berbeda. Unsur yang terkandung dalam pola pikir masyarakat modern adalah:
1. bersifat dinamis atau selalu berubah mengikuti perkembangan zaman,
2. berdasarkan akal pikiran manusia dan senantiasa mengembangkan efisiensi dan efektivitas, serta
3. tidak mengandalkan atau mengutamakan kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Persos
PENDAHULUAN
Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.
Pendapat Marx tentang perubahan moda produksi menghasilkan perubahan pola interaksi dan struktur sosial tergambar jelas dalam tulisan husken. Masyarakat jawa yang semula berada pada pertanian subsisten dipaksa untuk berubah menuju pertanian komersialis. Perubahan komoditas yang diusahakan menjadi salah satu indikator yang dijelaskan oleh Husken. Imperialisme gula telah merubah komoditas padi menjadi tebu yang tentu berbeda dalam proses pengusahaannya. Gambaran ini semakin jelas pada masa orde baru dengan kebijakan revolusi hijaunya.
Gambaran serupa tampak pada tulisan Hefner, Jellinek dan Summers. Kebijakan pemerintah yang mengacu pada model modernisasi selalu menekankan pada pembangunan ekonomi yang merubah moda produksi dari pertanian menuju industri. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme membawa dampak pada kehidupan di tingkat komunitas.
PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Perspektif Penjelasan Tentang Perubahan
Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi
Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.
Teori perilaku kolektif
Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.
Teori inkonsistensi status
Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.
Analisis organisasi sebagai subsistem sosial
Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
Teori Barrington Moore
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.
Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.
Penulis Bahan Kajian Proses Perubahan Konsep Penyebab Perubahan
Sosrodihardjo
Masyarakat Jawa
Kemunculan kelas pemasaran yang menimbulkan perubahan pada struktur sosial masyarakat.
Stratifikasi sosial (status sosial), pola konsumsi.
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Sarman
Komunitas petani plasma PIR Karet Danau Salak Kalsel
Perubahan pola konsumsi pada masyarakat serta fenomena “pembangkangan” oleh petani. Selain itu muncul kelas sosial baru yaitu pedagang tengkulak.
Stratifikasi sosial (status sosial), hubungan kerja, gaya hidup, pola konsumsi.
Moda produksi (materialis), peningkatan pendapatan, permasalahan ekonomi perusahaan inti.
Wertheim
Kawasan asia selatan dan tenggara
Masuknya kapitalisme di asia menyebabkan polarisasi pada struktur sosial masyarakat. Kemunculan kelas borjuis membawa dampak pada semakin sengitnya kompetisi dan konflik dengan borjuis asing.
Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Kuntowijoyo
Masyarakat agraris Madura
Terjadinya segmentasi pada masyarakat Madura yang dapat dipandang sebagai perubahan pola stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Kemunculan kelompok strategis sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan status sosial yang ada.
Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial.
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme
PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Bahan Bacaan
Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California.
Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.
Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.
Linton, R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Sarman, M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.
Sosrodihardjo, S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.
Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
Catatan perjalanan pembangunan pertanian di Indonesia telah banyak diulas oleh para peneliti. Salah satunya hasil penelitian Frans Hüsken yang dilaksanan pada tahun 1974. Penelitian yang mengulas tentang perubahan sosial di masyarakat pedesaan Jawa sebagai akibat kebijakan pembangunan pertanian yang diambil oleh pemerintah. Penelitian ini dilakukan di Desa Gondosari, Kawedanan Tayu, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kekhususan dan keunikan dari penelitian ini terletak pada isinya yang tidak saja merekam pengalaman perubahan sosial (revolusi) tersebut, namun juga menggali studi dalam perspektif sejarah yang lebih jauh ke belakang. Penelitian ini berhasil mengungkap fenomena perubahan politik, sosial dan ekonomi melintasi tiga zaman, yaitu penjajahan Belanda, Jepang hingga masa pemerintahan orde lama dan orde baru. Husken menggambarkan terjadinya perubahan di tingkat komunitas pedesaan Jawa sebagai akibat masuknya teknologi melalui era imperialisme gula dan berlanjut hingga revolusi hijau.
Pendapat Marx tentang perubahan moda produksi menghasilkan perubahan pola interaksi dan struktur sosial tergambar jelas dalam tulisan husken. Masyarakat jawa yang semula berada pada pertanian subsisten dipaksa untuk berubah menuju pertanian komersialis. Perubahan komoditas yang diusahakan menjadi salah satu indikator yang dijelaskan oleh Husken. Imperialisme gula telah merubah komoditas padi menjadi tebu yang tentu berbeda dalam proses pengusahaannya. Gambaran ini semakin jelas pada masa orde baru dengan kebijakan revolusi hijaunya.
Gambaran serupa tampak pada tulisan Hefner, Jellinek dan Summers. Kebijakan pemerintah yang mengacu pada model modernisasi selalu menekankan pada pembangunan ekonomi yang merubah moda produksi dari pertanian menuju industri. Pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kapitalisme membawa dampak pada kehidupan di tingkat komunitas.
PERSPEKTIF PERUBAHAN SOSIAL
Pengelompokkan teori perubahan sosial telah dilakukan oleh Strasser dan Randall. Perubahan sosial dapat dilihat dari empat teori, yaitu teori kemunculan diktator dan demokrasi, teori perilaku kolektif, teori inkonsistensi status dan analisis organisasi sebagai subsistem sosial.
Perspektif Penjelasan Tentang Perubahan
Barrington Moore, teori kemunculan diktator dan demokrasi
Teori ini didasarkan pada pengamatan panjang tentang sejarah pada beberapa negara yang telah mengalami transformasi dari basis ekonomi agraria menuju basis ekonomi industri.
Teori perilaku kolektif
Teori dilandasi pemikiran Moore namun lebih menekankan pada proses perubahan daripada sumber perubahan sosial.
Teori inkonsistensi status
Teori ini merupakan representasi dari teori psikologi sosial. Pada teori ini, individu dipandang sebagai suatu bentuk ketidakkonsistenan antara status individu dan grop dengan aktivitas atau sikap yang didasarkan pada perubahan.
Analisis organisasi sebagai subsistem sosial
Alasan kemunculan teori ini adalah anggapan bahwa organisasi terutama birokrasi dan organisasi tingkat lanjut yang kompleks dipandang sebagai hasil transformasi sosial yang muncul pada masyarakat modern. Pada sisi lain, organisasi meningkatkan hambatan antara sistem sosial dan sistem interaksi.
Teori Barrington Moore
Teori yang disampaikan oleh Barrington Moore berusaha menjelaskan pentingnya faktor struktural dibalik sejarah perubahan yang terjadi pada negara-negara maju. Negara-negara maju yang dianalisis oleh Moore adalah negara yang telah berhasil melakukan transformasi dari negara berbasis pertanian menuju negara industri modern. Secara garis besar proses transformasi pada negara-negara maju ini melalui tiga pola, yaitu demokrasi, fasisme dan komunisme.
Demokrasi merupakan suatu bentuk tatanan politik yang dihasilkan oleh revolusi oleh kaum borjuis. Pembangunan ekonomi pada negara dengan tatanan politik demokrasi hanya dilakukan oleh kaum borjuis yang terdiri dari kelas atas dan kaum tuan tanah. Masyarakat petani atau kelas bawah hanya dipandang sebagai kelompok pendukung saja, bahkan seringkali kelompok bawah ini menjadi korban dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara tersebut. Terdapat pula gejala penhancuran kelompok masyarakat bawah melalui revolusi atau perang sipil. Negara yang mengambil jalan demokrasi dalam proses transformasinya adalah Inggris, Perancis dan Amerika Serikat.
Berbeda halnya demokrasi, fasisme dapat berjalan melalui revolusi konserfatif yang dilakukan oleh elit konservatif dan kelas menengah. Koalisi antara kedua kelas ini yang memimpin masyarakat kelas bawah baik di perkotaan maupun perdesaan. Negara yang memilih jalan fasisme menganggap demokrasi atau revolusi oleh kelompok borjuis sebagai gerakan yang rapuh dan mudah dikalahkan. Jepang dan Jerman merupakan contoh dari negara yang mengambil jalan fasisme.
Komunisme lahir melalui revolusi kaun proletar sebagai akibat ketidakpuasan atas usaha eksploitatif yang dilakukan oleh kaum feodal dan borjuis. Perjuangan kelas yang digambarkan oleh Marx merupakan suatu bentuk perkembangan yang akan berakhir pada kemenangan kelas proletar yang selanjutnya akan mwujudkan masyarakat tanpa kelas. Perkembangan masyarakat oleh Marx digambarkan sebagai bentuk linear yang mengacu kepada hubungan moda produksi. Berawal dari bentuk masyarakat primitif (primitive communism) kemudian berakhir pada masyarakat modern tanpa kelas (scientific communism). Tahap yang harus dilewati antara lain, tahap masyarakat feodal dan tahap masyarakat borjuis. Marx menggambarkan bahwa dunia masih pada tahap masyarakat borjuis sehingga untuk mencapai tahap “kesempurnaan” perkembangan perlu dilakukan revolusi oleh kaum proletar. Revolusi ini akan mampu merebut semua faktor produksi dan pada akhirnya mampu menumbangkan kaum borjuis sehingga akan terwujud masyarakat tanpa kelas. Negara yang menggunakan komunisme dalam proses transformasinya adalah Cina dan Rusia.
Teori Perilaku Kolektif
Teori perilaku kolektif mencoba menjelaskan tentang kemunculan aksi sosial. Aksi sosial merupakan sebuah gejala aksi bersama yang ditujukan untuk merubah norma dan nilai dalam jangka waktu yang panjang. Pada sistem sosial seringkali dijumpai ketegangan baik dari dalam sistem atau luar sistem. Ketegangan ini dapat berwujud konflik status sebagai hasil dari diferensiasi struktur sosial yang ada. Teori ini melihat ketegangan sebagai variabel antara yang menghubungkan antara hubungan antar individu seperti peran dan struktur organisasi dengan perubahan sosial.
Perubahan pola hubungan antar individu menyebabkan adanya ketegangan sosial yang dapat berupa kompetisi atau konflik bahkan konflik terbuka atau kekerasan. Kompetisi atau konflik inilah yang mengakibatkan adanya perubahan melalui aksi sosial bersama untuk merubah norma dan nilai.
Teori Inkonsistensi Status
Stratifikasi sosial pada masyarakat pra-industrial belum terlalu terlihat dengan jelas dibandingkan pada masyarakat modern. Hal ini disebabkan oleh masih rendahnya derajat perbedaan yang timbul oleh adanya pembagian kerja dan kompleksitas organisasi. Status sosial masih terbatas pada bentuk ascribed status, yaitu suatu bentuk status yang diperoleh sejak dia lahir. Mobilitas sosial sangat terbatas dan cenderung tidak ada. Krisis status mulai muncul seiring perubahan moda produksi agraris menuju moda produksi kapitalis yang ditandai dengan pembagian kerja dan kemunculan organisasi kompleks.
Perubahan moda produksi menimbulkan maslaah yang pelik berupa kemunculan status-status sosial yang baru dengan segala keterbukaan dalam stratifikasinya. Pembangunan ekonomi seiring perkembangan kapitalis membuat adanya pembagian status berdasarkan pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menimbulkan inkonsistensi status pada individu.
Penulis Bahan Kajian Proses Perubahan Konsep Penyebab Perubahan
Sosrodihardjo
Masyarakat Jawa
Kemunculan kelas pemasaran yang menimbulkan perubahan pada struktur sosial masyarakat.
Stratifikasi sosial (status sosial), pola konsumsi.
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Sarman
Komunitas petani plasma PIR Karet Danau Salak Kalsel
Perubahan pola konsumsi pada masyarakat serta fenomena “pembangkangan” oleh petani. Selain itu muncul kelas sosial baru yaitu pedagang tengkulak.
Stratifikasi sosial (status sosial), hubungan kerja, gaya hidup, pola konsumsi.
Moda produksi (materialis), peningkatan pendapatan, permasalahan ekonomi perusahaan inti.
Wertheim
Kawasan asia selatan dan tenggara
Masuknya kapitalisme di asia menyebabkan polarisasi pada struktur sosial masyarakat. Kemunculan kelas borjuis membawa dampak pada semakin sengitnya kompetisi dan konflik dengan borjuis asing.
Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme yang ditandai adanya komersialisasi pertanian.
Kuntowijoyo
Masyarakat agraris Madura
Terjadinya segmentasi pada masyarakat Madura yang dapat dipandang sebagai perubahan pola stratifikasi sosial yang ada di masyarakat. Kemunculan kelompok strategis sebagai bentuk usaha untuk mempertahankan status sosial yang ada.
Stratifikasi sosial (status sosial), gerakan sosial.
Moda produksi (kapitalisme) melalui kolonialisme
PERUBAHAN SOSIAL DAN STRUKTUR SOSIAL
Menurut Douglas (1973), mikrososiologi mempelajari situasi sedangkan makrososiologi mempelajari struktur. George C. Homans yang mempelajari mikrososiologi mengaitkan struktur dengan perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari, sedangkan Gerhard Lenski lebih menekankan pada struktur masyarakat yang diarahkan oleh kecenderungan jangka panjang yang menandai sejarah. Talcott Parsons yang bekerja pada ranah makrososiologi menilai struktur sebagai kesalingterkaitan antar manusia dalam suatu sistem sosial. Coleman melihat struktur sebagai pola hubungan antar manusia dan antar kelompok manusia atau masyarakat. Kornblum (1988) menyatakan struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat.
Mengacu pada pengertian struktur sosial menurut Kornblum yang menekankan pada pola perilaku yang berulang, maka konsep dasar dalam pembahasan struktur adalah adanya perilaku individu atau kelompok. Perilaku sendiri merupakan hasil interaksi individu dengan lingkungannya yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi.
Pembahasan mengenai struktur sosial oleh Ralph Linton dikenal adanya dua konsep yaitu status dan peran. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Menurut Linton (1967), seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya. Tipologi lain yang dikenalkan oleh Linton adalah pembagian status menjadi status yang diperoleh (ascribed status) dan status yang diraih (achieved status).
Status yang diperoleh adalah status yang diberikan kepada individu tanpa memandang kemampuan atau perbedaan antar individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan status yang diraih didefinisikan sebagai status yang memerlukan kualitas tertentu. Status seperti ini tidak diberikan pada individu sejak ia lahir, melainkan harus diraih melalui persaingan atau usaha pribadi.
Social inequality merupakan konsep dasar yang menyusun pembagian suatu struktur sosial menjadi beberapa bagian atau lapisan yang saling berkait. Konsep ini memberikan gambaran bahwa dalam suatu struktur sosial ada ketidaksamaan posisi sosial antar individu di dalamnya. Terdapat tiga dimensi dimana suatu masyarakat terbagi dalam suatu susunan atau stratifikasi, yaitu kelas, status dan kekuasaan. Konsep kelas, status dan kekuasaan merupakan pandangan yang disampaikan oleh Max Weber (Beteille, 1970).
Kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan. Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan seseorang dalam hierarkhi ekonomi. Sedangkan status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi. Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama (Beteille, 1970).
Berbagai kasus yang disajikan oleh beberapa penulis di depan dapat kita pahami sebagai bentuk adanya peluang mobilitas sosial dalam masyarakat. Kemunculan kelas-kelas sosial baru dapat terjadi dengan adanya dukungan perubahan moda produksi sehingga menimbulkan pembagian dan spesialisasi kerja serta hadirnya organisasi modern yang bersifat kompleks. Perubahan tatanan masyarakat dari yang semula tradisional agraris bercirikan feodal menuju masyarakat industri modern memungkinkan timbulnya kelas-kelas baru. Kelas merupakan perwujudan sekelompok individu dengan persamaan status. Status sosial pada masyarakat tradisional seringkali hanya berupa ascribed status seperti gelar kebangsawanan atau penguasaan tanah secara turun temurun. Seiring dengan lahirnya industri modern, pembagian kerja dan organisasi modern turut menyumbangkan adanya achieved status, seperti pekerjaan, pendapatan hingga pendidikan.
Teori inkonsistensi status telah mencoba menelaah tentang adanya inkonsistensi dalam individu sebagai akibat berbagai status yang diperolehnya. Konsep ini memberikan gambaran bagaimana tentang proses kemunculan kelas-kelas baru dalam masyarakat sehingga menimbulkan perubahan stratifikasi sosial yang tentu saja mempengaruhi struktur sosial yang telah ada.
Apabila dilihat lebih jauh, kemunculan kelas baru ini akan menyebabkan semakin ketatnya kompetisi antar individu dalam masyarakat baik dalam perebutan kekuasaan atau upaya melanggengkan status yang telah diraih. Fenomena kompetisi dan konflik yang muncul dapat dipahami sebagai sebuah mekanisme interaksional yang memunculkan perubahan sosial dalam masyarakat.
Bahan Bacaan
Beteille, A. 1970. Social Inequality. Penguin Education. California.
Douglas, J.D. 1981. Introduction to Sociology ; Situations and Structures. The Free Press. New York.
Kornblum, W. 1988. Sociology in Changing World. Holt, Rinchart and Winston. New York.
Kuntowijoyo. 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura. Mata Bangsa. Jogjakarta.
Linton, R. 1967. “Status and Role” dalam Lewis A. Coser dan Bernard Rosenberg. Sociological Theory ; A Book of Reading. The Macmillan. New York.
Merton, Robert K. 1964. Social Theory and Social Structure. The Free Press. New York.
Sarman, M. 1994. Perubahan Status Sosial dan Moral Ekonomi Petani. Prisma No. 7.
Sosrodihardjo, S. 1972. Perubahan Struktur Masyarakat di Djawa; Suatu Analisa. Karya. Jogjakarta.
Strasser, H. and S.C. Randall. 1981. An Introdustion to Theories of Social Change. London: Routledge & Kegan Paul.
Wertheim, W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi; Studi Perubahan Sosial. Tiara Wacana. Jogjakarta.
Rabu, 18 November 2009
Pas...lagi sedih banget///
Izinkan aku berdoa
Bukan agar terhindar dari bahaya melainkan agar aku tiada takut menghadapinya
Izinkan aku memohon
Bukan agar penderitaanku hilang melainkan agar hatiku teguh menghadapinya
Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam medan perjuangan hidupku
melainkan memperoleh kekuatanku sendiri
Izinkan aku tidak mengidamkan dalam ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan
melainkan harapan akan kesabaran untuk memenangkan kebebasanku
Berkati aku sehingga aku tidak menjadi pengecut dengan merasakan kemurahanMu dalam keberhasilanku semata,
melainkan biarkan aku menemukan genggaman tanganMu dalam kegagalanku
Bukan agar terhindar dari bahaya melainkan agar aku tiada takut menghadapinya
Izinkan aku memohon
Bukan agar penderitaanku hilang melainkan agar hatiku teguh menghadapinya
Izinkan aku tidak mencari sekutu dalam medan perjuangan hidupku
melainkan memperoleh kekuatanku sendiri
Izinkan aku tidak mengidamkan dalam ketakutan dan kegelisahan untuk diselamatkan
melainkan harapan akan kesabaran untuk memenangkan kebebasanku
Berkati aku sehingga aku tidak menjadi pengecut dengan merasakan kemurahanMu dalam keberhasilanku semata,
melainkan biarkan aku menemukan genggaman tanganMu dalam kegagalanku
Kamis, 11 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)